Kenapa Jokowi Lebih Mengutamakan Pembangunan daripada Pendidikan?
Kita tentu paham sekali perkembangan infrastruktur Indonesia, mulai dari kepemimpinan Soekarno sampai Joko Widodo. Dalam catatan sejarah, dalam hal infrastruktur menggeliatnya di masa orde baru, yaitu Soeharto.
Dalam programnya Pelita (pembangunan Lima Tahun) 1 dan 2, wajah Indonesia berubah drastis. Negara kita dalam hal pembangunan mulai diakui dunia. Bahkan perekonomian negara pada zaman Soeharto itu sangat baik.
Namun sayang di tahun 1990-an, aroma kelicikan sang jendral tercium rakyat. Beliau pun dilengserkan secara paksa oleh rakyat, melalui pahlawan reformasinya. Ketika Soeharto sudah tak menjabat lagi, tahun-tahun berikutnya kasusnya dibongkar habis-habisan, dan ditetapkanlah ia sebagai tersangka kasus korupsi.
Presiden RI Joko Widodo | Foto Tribun Jateng |
Begitulah seorang pemimpin, ada jasanya, ada pula dosanya. Yang terpenting sebagai rakyat, kita harus netral menilai Soeharto sebagai mantan Presiden ke-2 Republik Indonesia. Tidak masalah menyebutkan dosanya, agar ke depan bangsa ini bisa belajar dari pemimpin sebelumnya. Jangan macam-macam kalau tak mau dilengserkan secara paksa!
Pada tahun 2014, tampuk kekuasaan Indonesia dikendalikan oleh Joko Widodo. Jargon yang digaungkan kerja… kerja… kerja… sedikit banyaknya membuahkan hasil. Meskipun kita tak menepis proyek-proyek yang dijalankan Jokowi juga banyak yang mangkrak. Mantan Walikota Solo itu pun mulai melirik wilayah paling Timur Indonesia, Irian Jaya. Selama ini memang Irian Jaya seperti “anak tiri” bagi negara ini, tidak begitu diperdulikan nasibnya.
Di zaman Jokowi infrastruktur, seperti jalan yang membelah bukit dan menerobos gunung sudah berjalan. Setidaknya itu sudah membuat warga saudara kita di Irian Jaya mulai senang dan bangga. Bagaimana tidak? Jika sejak bangsa merdeka, presiden silih berganti, infrastruktur di sana sangat buruk. Wajar di sana tidak berkembang dan maju.
Kesenangan rakyat Papua ditambah lagi harga BBM yang murah, 1 harga nasional, yaitu Premium Rp 6.450 per liter, sedangkan Solar Rp 5.150 per liter. Padahal awalnya harga BBM di sana mencapai 70 ribu sampai 100 ribu per liter. Ini merupakan kebijakan Jokowi yang sangat bagus, meskipun saya tidak terlalu respek dengan Presiden RI, tapi untuk kali ini saya benar-benar turut bahagia. Sebahagia warga Papua di sana. Karena saya merasa, bagaimana sulitnya hidup di daerah terpencil, beban biaya yang mahal, dan minimnya infrastruktur.
Selain program pembangunan, sebaiknya juga diiringi dengan investasi pendidikan terhadap anak bangsa. Pendidikan adalah investasi yang tak ternilai pada suatu negara. Tidak ada yang disebut negara maju, jika sumber daya manusianya belum merata. Apalagi di daerah terpencil yang pendidikannya masih sangat memprihatinkan.
Salah satu investasi pendidikan kepada anak bangsa adalah memberikan bea siswa kepada keluarga miskin. Mulai dari SD sampai perguruan tinggi. Karena melalui pendidikanlah perubahan pada keluarga, lingkungan, dan bangsa, bisa terlaksana dengan baik, sesuai cita-cita para pendiri bangsa. Kan tidak selamanya sumber daya alam kita diolah oleh bangsa asing? Dan kita menjadi kuli di negeri sendiri.
Kalau Jokowi menginginkan bangsa kita selama jadi kuli di negerinya sendiri, ya, wajar investasi pendidikan anak bangsa diabaikan. Atau saya terlalu bodoh menghitung, atau minimnya wawasan, bahwa uang negara kita tidak cukup membiayai anak-anak yang ingin sekolah. Tapi saya sangat yakin, negara ini masih mampu memberikan bea siswa terhadap keluarga miskin.
Kira-kira pendidikan dan infrastruktur mana lebih penting? Ayo silahkan dijawab! Saya pribadi menilai lebih penting pendidikan. Kenapa pendidikan? Analoginya seperti ini, sebuah jalan beraspal mulus akan percuma jika kita tidak bisa mengendarai kendaraan. Meskipun itu hanya sepeda.
Jangan tanya mengendarai mobil, roda 2 saja tidak bisa. Tapi kalau kita bisa mengendarai sepeda akan bisa melintasi jalan tersebut. Nah, diibaratkan pandai menunggangi sepeda itu adalah ilmu. Ilmu itu bisa didapatkan dari pendidikan, bukan di tempat lain.
Kalaupun tidak ada jalan beraspal, paling tidak kita bisa tetap mengayuh sepeda di jalan apa saja. Kan, begitu? Tidak harus berpatokan pada jalan beraspal itu.
Contoh lain, infrasturktur memadai tapi sumber daya manusianya tidak mumpuni tetap saja jadi daerah miskin. Tidak percaya?! Salah satunya di Yogyakarta. Kalau Anda pernah berkunjung ke Kota Yogyakarta, dan jalan-jalan ke daerah Gunungkidul, infrastruktur di sana sangat baik.
Tapi kenapa di sana warganya tergolong miskin. Bahkan kesenjangan sosial paling tinggi di Indonesia. Selain sumber daya alamnya yang tidak bisa diolah, sumber daya manusia di sana belum bisa diandalkan. Jadi pembangunan infrastruktur di Gunungkidul belum bisa menyejahterakan warganya. Inilah potret jika lebih memilih memajukan infrastruktur dibandingkan pendidikan. Padahal Kota Yogyakarta bergelar Kota Pendidikan pula.
Nah, ini yang cukup miris, Indonesia terkenal sekali dengan seumber daya alamnya. Hal ini anak kecil pun tahu. Lihat sekarang yang menghebohkan Indonesia, pertambangan emas, perak, tembaga, dan uranium di Papua yang dilakukan PT Freeport. Dulunya gunung emas sekarang jadi lembah. Sudah seperti lubang bumi. Hasil kekayaan alam yang tak ternilai harganya diangkut ke luar negeri, Indonesia hanya mendapat beberapa persen saja, bahkan ada yang menyebutnya diibaratkan cuma 1 persen.
Gila, tidak? Nyatanya adalah Indonesia dengan kekayaan alamnya tidak mampu membuat rakyatnya kaya. Karena minimnya sumber daya manusianya. Tentu saja SDM minim sehingga tidak bisa menciptakan alat yang mampu mengeruk kekayaan alam. Maka bangsa lainlah yang memanfaatkan ini semua melalui kong kalikong dengan pemerintah.
Papua yang punya gunung emas, dan uranium terbaik di dunia itu apakah warga aslinya kecipratan hasilnya? Saya pikir tidak, hanya sebagian kecil saja. Dan yang jelas paling banyak mendapatkan keuntungan adalah Amerika Serikat.
Jokowi bisa belajar dari potret suram kesenjangan sosial dan warga miskin di daerah Gunungkidul, Yogyakarta, dan di Papua. Pembangunan yang selama ini silahkan dijalankan sampai selesai, tapi jangan pula mengabaikan yang terpenting, yakni pendidikan. Bisa jadi di daerah Papua, meskipun pembangunan infrastruktur di sana berkembang baik, tapi tetap saja warganya miskin.
Saya tidak tahu pasti kenapa setiap presiden yang silih berganti semangat sekali mengerjakan proyek infrastruktur, apa karena di sana merupakan “proyek basah”. Sedangkan pendidikan merupakan "proyek kering". Ah, entahlah Indonesia selalu begitu! Berburuk sangka tidak baik, terlalu percaya dikadali. [Klickberita.com/Asmara Dewo]
Info: Klickberita.com di-update setiap Sabtu pagi
Baca juga di asmarainjogja:
Kesenjangan Sosial di Indonesia Dipengaruhi Budaya Pekerja
Lima Cara Mengentaskan Kesenjangan Sosial di Yogyakarta
Posting Komentar untuk "Kenapa Jokowi Lebih Mengutamakan Pembangunan daripada Pendidikan?"