6 Karakter Dosen, Nomor 5 Paling Geram Mahasiswa
Klickberita.com – Dosen salah satu sumber ilmu
pengetahuan bagi seorang mahasiswa. Kedudukannya yang dinilai berpengetahuan
luas, berpengalaman, memiliki segudang ilmu pengetahuan membuat dirinya tak
hanya sebagai dosen (pengajar), tapi juga panutan. Ia juga sangat berpengaruh
bagi proses belajar dan mengajar di perguruan tinggi. Begitu juga masalah
nilai, ia yang berhak memberikan nilai mahasiswanya.
Mahasiswa-mahasiswa cerdas di negeri ini juga dipengaruhi
oleh dosen dan universitasnya. Jika dosennya jenius, bijaksana, dan memang
tekat bulat ingin melahirkan generasi emas penerus bangsa, maka harapan itu
bisa terwujud di masa yang akan datang. Begitu juga sebaliknya, jika dosen
hanya sebatas mengajar tidak punya misi dan visi secara personal, maka generasi
pun lahir dengan apa adanya. Boleh jadi melahirkan generasi bobrok, yang kehadirannya
tidak berpengaruh pada dirinya, alih-alih perubahan pada suatu bangsa.
Ilustrasi Dosen | Foto Istimewa |
Karena itu pula pendidikan Indonesia ditentukan oleh sumber
daya manusianya yang jelas, dalam artian memang benar-benar perduli terhadap
perubahan. Dosen sebagai salah satu sumber ilmu pengetahuan dituntut untuk itu.
Mahasiswa tidak bisa memahami masalah gaji/honor seorang dosen. Yang ia pahami
adalah ketika dosen mengajarnya tidak efektif, maka itu adalah kecacatan di
perguruan tinggi tempat ia belajar menuntut ilmu.
Mahasiswa sebagai harapan keluarga memiliki setumpuk beban
yang berat di pundaknya. Ia sadar biaya kuliah tinggi, biaya hidup mahal, waktu
yang dihabiskan selama proses belajar, pikiran, dan tenaga berkecamuk di
kepalanya saban hari. Belum lagi persoalan keuangan keluarga yang terkadang
surut, sehingga berdampak pada waktu pembayaran uang SPP dan lain sebagainya.
Yang jelas mahasiswa tidak semua berlatar belakang orang kaya. Bahkan
keluarganya jungkir balik mencari uang agar anaknya bisa fokus belajar tanpa
memikirkan dari mana keluarganya mendapatkan uang.
Mahasiswa dari latar belakang keluarga kaya mungkin tidak
terusik jika biaya pendidikan semakin tinggi. Tapi mahasiswa dari keluarga
miskin jelas itu akan menambah beban pikirannya sehari-hari. Untuk menunaikan
kewajibannya sebagai anak, harapan dari keluarganya, ia pun semaksimal mungkin
belajar sebaik-baiknya, menyerap ilmu dari mana saja, seperti membaca,
berdiskusi, gabung dengan mahasiswa-mahasiswa lainnya dalam satu wadah, dan
lain sebagianya, guna untuk mendongkrak kecerdasannya.
Dosen yang juga sebagai harapan utama menyerap ilmu terkadang
tak sesuai harapan. Beragam dosen ia temukan di perguruan tinggi, dan 6 poin di
bawah ini adalah dosen yang tidak mendukung pencerdasan generasi emas secara
optimal. Bagaimana mungkin bangsa ini bisa melahirkan mahasiswa cerdas, jika
universitas tidak bisa mengevaluasi tenaga pengajarnya.
1. Ngawur di Kelas, Pembahasannya Tidak Jelas
Belajar yang efektif itu adalah pembahasan materi 60 persen,
30 persen diskusi (tanya jawab), dan 10 persen bergurau sehat. Karena memang
ini adalah inti belajar dari kelas itu sendiri, jadi porsinya sangat tinggi.
Sedangkan untuk diskusi agar mahasiswa tidak bingung jika ada poin-poin materi
yang tidak jelas. Atau juga kesempatan mahasiswa untuk menyampaikan
pendapatnya, mungkin sesama mahasiswa atau ke dosen yang boleh jadi keliru saat
mengajar. Bergurau sehat sendiri agar mahasiswa tidak kaku dan bosan saat
mengikuti pelajaran di kelas, dan juga menciptakan suasana gembira.
Jadi bukan 60 persen dosen bicara ngawur saat mengajar, 30
persen mengulas materi, dan 10 persen dikembalikan lagi ke mahasiswa. Bisa
dibayangkan jika mahasiswa selama 4 tahun mendapatkan pelajaran dari tipe dosen
seperti ini, sudah dipastikan perguruan tinggi itu akan menambah mahasiswa
goblok. Jangan ditambahi lagi generasi bobrok di Indonesia ini.
Dosen bicara ngawur saat mengajar itu seperti apa, sih?
Sederhananya adalah dosen bukan malah fokus membahas materi pelajaran, tapi
membahas yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan materi. Anda yang saat ini
sebagai mahasiswa, coba perhatikan dosen Anda mengajar, jika ada pembahasan
yang menyeleweng dari materi, itulah yang dimaksud dosen ngawur di kelas.
2. Jualan Buku yang Memengaruhi Nilai
Seperti yang sudah disinggung di atas tadi, mungkin gaji
dosen itu kecil, sehingga untuk menutupi biaya dalam proses mengajar, seperti
biaya transportasi dan lain sebagainya, maka dosen pun berjualan buku. Sebatas
berjualan buku terhadap mahasiswanya itu tentu tidak masalah. Hanya saja jika mahasiswa
enggan membeli buku tersebut, karena mahasiswa itu menganggap karya bukunya
tidak berkualitas.
Si dosen ngotot agar bukunya dibeli, alasannya untuk
memperlancar proses belajar mengajar. Padahal mengenai buku, mahasiswa juga
bisa mencari buku sendiri yang dianggapnya bagus dan bisa membantunya untuk
belajar. Terserah dia membeli buku atau hanya sekadar meminjam buku dari
berbagai perpustakaan yang ada. Lucunya ada dosen yang merajuk jika bukunya
tidak dibeli, dan mencoba menggertak mahasiswa keluar dari kelas.
Bahkan ada kasus di mana mahasiswa sepakat tidak membeli
buku, maka nilai yang diberikan oleh dosen ‘E’. Gila, gara-gara tidak beli buku
nilainya ‘E’, sedangkan mahasiswa yang beli buku bisa mendapatkan nilai ‘B’,
meskipun mahasiswa itu tidak tergolong cerdas. Ini sebenarnya mau mengajar
untuk melahirkan manusia cerdas atau mau cari keuntungan? Kalau mau cari
keuntungan, ya, sudah jangan jadi dosen, buka lapak di luar jualan buku di
luar! Mahasiswa bukan konsumen, mereka adalah mahasiswa. Jadi tidak tepat jika
dosen berjualan dengan cara ‘memaksa’ dan mengancam.
3. Suka Curhat Kehidupannya yang Sama Sekali Tidak ada
Hubungan dengan Materi
Kelas bukan tempat curhat (curahan hati), apalagi tempat belajar
ini dicemari oleh dosen. Mahasiswa tidak tahu, dan tidak mau tahu apakah dosen
tersebut jomblo, janda, duda, tidak mau menikah, anaknya menangis, anaknya suka
ngambek, suka duka di istana mertua, dan
lain sebagainya. Sungguh, mahasiswa tidak butuh tahu hal-hal privasi soal
dosennya. Bukan berarti hubungan antara mahasiswa dan dosen itu sebatas antara
guru dan murid. Bukan itu maksudnya, kalau memang ingin berkomunikasi privasi atau
bersilaturhami sebaiknya di luar kelas. Kelas adalah tempat belajar, titik!
Habis waktu 30 menit jika mahasiswa mendengar ocehan dosen
yang curhat mengenai kepribadiannya. Padahal 30 menit itu waktu yang sangat
singkat untuk belajar. Bagaimana mungkin mahasiswa menjadi cerdas, jika dosen
suka curhat, bukan suka mengajar dan terus berupaya bagaimana caranya agar proses
mengajar semakin baik lagi?
Sebaiknya dosen fokus ke materi pelajaran, jangan gemar
mengumbar kehidupannya sehari-hari. Sungguh, itu tidak penting bagi mahasiswa. Terlebih
lagi tidak ada kaitannya sama sekali dengan pelajaran.
4. Berpakaian Kurang Sopan (Seksi)
Negara kita memahami kebebasan privasi, hanya sajak kebebasan
yang tidak tepat bisa menimbulkan
kegelisahan, keanehan, fitnah, dan lain sebagainya. Di dunia entertainment
mungkin itu biasa jika di antara mereka berpakaian kurang sopan (seksi). Atau malah
jadi tuntutan kerja. Tapi di dunia pendidikan, khususnya di kampus, ada dosen
yang berpakaian seksi, ini apa maksudnya coba?
Silahkan berpakaian bebas, silahkan bergaya sesuka hati, tapi
kalau berpakaian seksi saat di kampus, dan itu adalah dosen sendiri, tentu bisa
menimbulkan ketidakharmonisan belajar, tidak efektif. Terutama mahasiswa yang biasa duduk di belakang, tiba-tiba duduk
paling depan karena dosen si seksi tadi. Jelas ini membuat buyar konsentrasi
mahasiswa jika yang mengajar tipe dosen yang suka berpakaian seksi seperti ini.
Dosen sepatutnya paham dan bisa menyesuaikan pakainnya di saat
di luar kampus dan di dalam kampus. Karena selain memberikan ketentraman saat
proses mengajar, ia juga sebagai panutan mahasiswa itu sendiri. Beda sekali
profesi dosen dengan artis, kalau dosen adalah mengajar, sedangkan artis
menghibur.
5. Tidak Hadir Tapi Memberikan tugas ke mahasiswa
Sebagai mahasiswa, sebaiknya menyadari bukan Anda saja yang
suka bolos, tapi juga dosen Anda. Mahasiswa tidak hadir, berdampak pada nilai.
Sedangkan dosen absen, ya, no problem.
Siapa yang tahu urusan dia dengan pihak kampus. Yang jelas mahasiswa hanya
butuh kehadiran dosen di kelas agar mendapatkan pejaran yang optimal.
Mahasiswa yang rajin, pagi-pagi sekali sudah bangun, menyiapkan
segala keperluannya, dan berangkat ke kampus sesuai jam mata kuliah. Eh, ketika
sampai di kelas, terdengar kabar dosen tidak hadir. Satu kali pertemuan,
mungkin tidak masalah, jika sudah berkali-kali, apa lagi yang bisa diharapkan
dari tipe dosen ‘bermental bolos’ ini? Yang membuat mahasiswa lebih geram lagi
adala dosen tidak hadir, tapi memberikan tugas melalui pesan. Oh, my God, enak sekali jadi dosen,
dapat gaji tapi tidak bekerja. Sekali lagi, mahasiswa tidak mau tahu berapa
gaji dosen itu sendiri.
Mahasiswa juga paham, belajar tidak hanya berfokus pada
dosen, tapi dari mana saja. Pertanyaannya adalah jika seorang manusia bisa
belajar dari mana saja, lantas kenapa ia harus kuliah? Toh, kalau hanya ingin
belajar secara umum bisa dari buku, ke perpustakaan seharian, dan berdiskusi
antar mahasiswa, atau langsung ke masyarakat untuk berpraktik. Tapi kan tidak
begitu belajar yang optimal, selain mendapatkan pelajaran, tapi dari dosen
sendiri, sebagai pintu ilmu pengetahuan sebuah universitas.
6. Tidak Suka Dikritik, Lagi-lagi Berisiko dengan nilai
Dosen bukan maha benar, ia manusia yang juga keliru dalam
mengajar. Tidak ada salahnya mahasiswa mengingatkan, mengkrtik, memberikan
saran, dan lain sebagainya agar dosen bisa menjadi pengajar yang lebih baik
lagi. Sering juga dijumpai wawasan mahasiswa lebih luas dibandingkan dengan
dosen yang hanya berkutat pada wawasannya. Sehingga ia menutup diri dari
masukan mahasiswa. Gengsi, malu, atau sejenisnya. Kalau mau memahami hakikat
belajar, kita bisa belajar dari siapa saja, meskipun dari seorang anak kecil.
Nah, dosen bermental anti kritik tersebut tidak suka menerima
masukan dari mahasiswa. Ia jengkel. Memang harus diakui pula ada karakter
mahasiswa yang frontal, langsung ‘menyerang’ dosen. Sehingga membuat jatuh
wibawa dosen itu sendiri. Kasus seperti ini memang bukan contoh yang baik.
Meski begitu secara professional dosen harus bisa menerima yang demikian, dan
bersyukurlah jika berhadapan dengan mahasiswa kritis tapi tetap menjaga nilai-nilai
kesopananan.
Mahasiswa yang mendapatkan nilai C, D, bahkan E, bukan
berarti ia bodoh, boleh jadi itu akibat dari kritikannya terhadap dosen. Si dosen
hanya bisa membalas dendam dengan memainkan nilai, yang dihubung-hubungkan
dengan karakter. Padahal siapa yang menjamin kalau itu bukan soal etika
mahasiswa, tapi karena ketidaksiapan dari dosen dan akhirnya balas dendam
melalui nilai? “Sukurin, Lu, gue kasi nilai E. Makanya jangan melawan jadi
mahasiswa!” mungkin seperti itulah yang ada di benak dosen anti kritik dan
saran dari mahasiswa. [Asmara Dewo]
Yuk, berkanalan dengan penulisnya di Instagram @asmaradewo
Baca juga:
Posting Komentar untuk "6 Karakter Dosen, Nomor 5 Paling Geram Mahasiswa"