Melarang Bercadar Sama Saja Melanggar HAM
Klickberita.com
– Yogyakarta yang dikenal dengan central pendidikan Indonesia kembali ternodai
oleh kebijakan Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Kalijaga Yogyakarta soal
pelarangan mahasiswi bercadar.
Rektor UIN Kalijaga
Yudian Wayudi, melalui surat kebijakannya mengintruksikan kepada dosen dan staf
untuk mendata mahasiswi UIN bercadar untuk dibina. Jika selama tujuh kali
mahasiswi yang bercadar tersebut tidak melepaskan cadarnya, maka pihak kampus
meminta mahasiswi itu untuk mengundurkan diri.
Ilustrasi bercadar | Istockfoto |
“Timnya sekitar 5
(dosen) dari fakultas, nanti anak dikonseling. Kalau sampai 7 kali masih pada
pendiriannya, kita minta mereka mengundurkan diri (dari kampus),” kata Yudian
Wayudi. Alasan larangan bercadar dikarenakan maraknya paham ideologi radikal yang
saat ini memang menjadi tantangan bangsa Indonesia.
Hal yang menarik adalah
apa hubungannya bercadar dengan paham radikal?
Apakah dasarnya karena
terorisme mempunyai istri bercadar, maka seluruh perempuan bercadar berpaham
radikal seperti yang dimaksud Rektor UIN tersebut?
Apakah karena ada
organisasi terlarang yang perempuannya memakai cadar, lalu men-judge seluruh perempuan bercadar juga
seperti itu?
Inilah bukti nyata
gagal pahamnya kaum intelektual yang tidak bisa membedakan ideologi radikal dengan
secarik kain. Kita tidak bisa menuduh orang lain berpaham radikal hanya karena
soal busananya. Boleh jadi orang yang setengah “berbusana” lebih berbahaya bagi
bangsa ini dibandingkan dengan perempuan yang mencoba menutup aurat seutuhnya.
Bicara soal ideologi itu
soal keyakinan, yang tidak bisa dilihat oleh siapa pun. Keyakinan itu akan
membuahkan pikiran yang menentukan perilakunya sehari-hari. Untuk membuktikan
seseorang itu berpaham ideologi radikal tentu pula dari perbuatannya yang jelas
melanggar undang-undang yang berlaku.
Baca juga:
5 Alasan Memilih Istri yang Berjilbab dan Berpakaian Baik Sesuai Anjuran Islam
Mereka Nyinyir Terhadap Muslimah Bercadar
Menutup Aurat Di-bully, Mengumbar Aurat Dipuji
Nah, jika tidak ada
pelanggaran di sana, maka ia tidak boleh dituduh yang macam-macam. Asas praduga
tak bersalah berlaku dalam hal ini, seseorang tak boleh dihukum (termasuk
sanksi moral) sebelum terbukti bersalah di pengadilan.
Bercadar
Hanya Soal Gaya Berpakaian
Bagi penulis sendiri
menilai, perempuan atau mahasiswi yang bergamis kemudian menutup wajahnya
dengan secarik kain (cadar) dengan warna hitam, yang matching dengan busananya itu soal style berpakaian saja. Sama halnya
dengan mahasiswi lain yang bergamis batik plus memakai kerudung.
Berpakaian
yang tidak melanggar norma agama, kesusilaan, kesopanan, dan hukum tentulah
tidak boleh dilarang oleh pihak manapun dan siapapun. Jika hal ini masih saja
berlaku, maka jelas hal ini akan bertentangan dengan hak asasi manusia.
Kemudian timbul
pertanyaan:
Apakah bercadar
bertentangan dengan norma agama?
Apakah bercadar
bertentangan dengan norma kesusilaan?
Apakah bercadar
bertentangan dengan norma kesopanan?
Apakah bercadar bertentangan
dengan norma hukum?
Jika tidak melanggar
norma-norma di atas, maka mahasiswi bercadar di UIN Kalijaga Yogyakarta tidak boleh
diperlakukan diskriminatif dan berakibat menjadi pelanggaran HAM. Itu adalah
haknya berpakaian yang dilindungi oleh negara.
Merujuk pada
Undang-undang Dasar 1945 Pasal 28E Ayat 1 dan 2 yang menerangkan kalau setiap
orang berhak memeluk agama dan beribadat menurut agamnya; dan setiap orang
berhak atas kebebasan menyakini kepercayaan, menyatakan pikiran, dan sikap
sesuai pikirannya.
Negara yang memuat
undang-undang sudah sepatutnya mengambil peran untuk mewujudkan fungsinya:
1. Menghormati perempuan bercadar
2.
Melindungi perempuan bercadar
3.
Memenuhi kebutuhan perempuan bercadar
ketika dilanggar hak asasinya
Membaca
Logika si Rektor
Jika kita memakai
logika rektor, maka boleh jadi memakai kerudung yang kerap digunakan muslimah
Indonesia pun suatu hari nanti dilarang. Kenapa bisa begitu? Karena pada
dasarnya si rektor hanya paranoid, ketakutan-ketakutan semu. Beliau
berimajinasi terlalu jauh, memprediksi mahasiswinya berpaham radikal hanya
karena memakai cadar.
Seandainya paham
radikal yang ditakutkannya itu tidak memakai cadar, tapi sudah melepasnya, dan
hanya memakai kerudung seperti biasa, tapi tetap cita-citanya bertentangan
dengan konstitusi. Maka tidak menutup kemungkinan, dari logika si rektor
perempuan berkerudung pun dilarang di UIN Kalijaga Yogyakarta. Sebab pada
dasarnya beliau dalam memutuskan kebijakan dari subjektif belaka, bukan
objektif permasalahannya.
Tipe rektor yang
demikian sungguh memprihatinkan bagi universitas yang berbasis Islam, karena
bisa merambat ke kampus-kampus lain yang melarang mahasiswinya bercadar. Dan
boleh jadi tindakan semena-mena ini diikuti oleh rektor yang setipe dengannya.
Jika ini terjadi
mahasiswi bercadar mau kuliah di mana?
Lucunya adalah
persoalan seperti ini merupakan wewenang dari universitas, rektor menjadi raja
kecil yang berkuasa penuh.
UIN Kalijaga Yogyakarta Sebaiknya Memakai Teori Merangkul
Untuk melindungi
mahasiswa dan mahasiswi UIN Kalijaga dari paham-paham radikal sebaiknya memakai
teori merangkul dan berdiskusi, bukan teori “menendang”. Kita juga tidak boleh
mengabaikan kekhawatiran dari pihak kampus untuk menjaga mahasiswa dan
mahasiswinya dari paham ideologi radikal yang dimaksud itu.
Hanya saja melalui
kebijakan untuk memaksa membuka cadar atau mengundurkan diri dari kampus adalah
tindakan yang keliru dan tidak bijak. Padahal hadirnya pendidikan adalah untuk
memanusiakan manusia, jika kita beranjak dari sana maka jelaslah di ruang-ruang
pendidikan itu kita tidak mengenal lagi sikap arogansi, berburuk sangka,
bertindak semena-mena, sampai tindakan tirani.
Tan Malaka pernah
berujar: “Tujuan pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh
kemauan, serta memperhalus perasaan.”
Sudahkah UIN Kalijaga
Yogyakarta cerdas menyikapi persoalan mahasiswi bercadar?
Seberapa kukuhnya kemauan
UIN Kalijaga Yogyakarta untuk melahirkan generasi Muslim dan Muslimah yang
tidak bertentangan dengan undang-undang yang berlaku?
Sudahkah memakai metode
pendekatan halus terhadap mahasiswa yang diduga berpaham ideologi radikal
tersebut?
Hakikatnya pendidikan
itu juga sebagai solusi dari bermacam persoalan yang terjadi pada suatu bangsa.
Diibaratkan pendidikan itu adalah seorang ibu yang mampu mengayomi beragam
karakter anak-anaknya. Ia tetap menyusui, menggendong, mengasuh, mengajarkan anaknya
merangkak sampai bisa berjalan, meskipun hidup-mati setipis rambut. [Asmara
Dewo]
Posting Komentar untuk "Melarang Bercadar Sama Saja Melanggar HAM"