7 Teori Negara, Mana yang Paling Ideal untuk Sebuah Negara?
Klickberita.com – Di
Indonesia, ada pendapat kuat yang beranggapan bahwa negara merupakan sebuah
lembaga netral, tidak berpihak, berdiri di atas semua golongan masyarakat, dan
mengabdi kepada kepentingan umum. Pendapat ini kita temukan di dalam
pidato-pidato para penjabat negara, dan dalam tulisan-tulisan para sarjana ilmu
sosial kita.
Mungkin,
hal ini merupakan kepercayaan yang tulus dari orang-orang itu. Tetapi bisa juga
ini merupakan sesuatu yang disebarkan di kalangan masyarakat luas, supaya
negara memiliki kekuasaan untuk memerintah. Kalau masyarakat sudah tidak
percaya bahwa negara merupakan sebuah lembaga netral, masyarakat akan menolak
untuk diperintah oleh negara ini.
Kalau
negara tidak netral dan hanya melayani kepentingan satu atau beberapa golongan
saja, golongan yang merasa kepentingannya tidak diperhatikan akan
mempertanyakan kekuasaan negara untuk memerintah.
Kuba, salah satu negara yang menerapkan teori Negara Komunis | Foto: Twitter lapoderosatours |
Karena itulah, istilah-istilah seperti “demi
kepentingan umum”, “pembangunan untuk seluruh masyarakat”, “negara tidak
mungkin mau mencelakakan warganya,” serta ungkapan-ungkapan lain senada selalu
dikumandangkanb dalam pernyataan-pernyataan politik para petinggi negara, di
banyak negara di dunia ini.
Rakyat harus pindah dari pemukimannya, meskipun dengan
ganti rugi yang sangat kecil, “demi kepentingan umum.”. Surat kabar dicabut
ijin penerbitannya karna kritik-kritiknya bisa membahayakan “pembangunan
nasional” yang dilakukan bagi semua lapisan masyarakat. Kepentingan-kepentingan
anggota masyarakat dituduh sebagai “kepentingan kelompok” yang bersifat
sektarian, sedangkan kepentingan negara selalu merupakan “kepentingan umum”
yang bersifat nasional.
Contoh-contoh di atas menunjukan bahwa istilah-istilah
“demi kepentingan umum” atau “pembangunan nasional untuk segala lapisan
masyarakat” biasanya dipakai sebagai pembenaran terhadap penggunaan kekuasaan
negara untuk memaksa seorang atau sekelompok warga agar bersedia mematuhi
keinginan negara.
Dari sini muncul pertanyaan, mengapa negara memiliki
kekuasaan yang mutlak? Mari kita diskusikan bersama-sama.
1. Plato dan Aristoteles
Dua pemikir besar Yunani kuno ini berpendapat bahwa
kekuasaan yang besar pada negara merupakan hal yang sepatutnya. Mengapa? Karna
individu akan menjadi liar, tidak dapat di kendalikan, bila negara tidak
memiliki kekuasaan yang mutlak. Negara harus mengendalikan mereka dan
mengajarkan nilai-nilai moral yang rasional.
Bagi Plato, individu memiliki kecenderungan yang keras
untuk bertindak atas dasar kepentingannya sendiri, ini memang mengurangi
kebebasan individu, tetapi apa boleh buat. Negara harus mengatur semuanya.
Dan negara ideal menurut Plato mengandung
ketidak-adilan terhadap ‘manusia’ tidak ada kebebasan bagi manusia individu,
sebab Plato mengucilkan semua keindividuan yang pribadi dari konsep negaranya,
demi mempertahankan moral yang baku.
Aristoteles pada dasarnya berpendapat sama mengenai
kekuasaan negara atas individu seperti yang telah diuraikan oleh Plato. Bahwa
negara itu juga menguasai manusia. Keseluruhan lalu menentukan
bagian-bagiannya.
Jadi disini tampak penglihatan yang universalistis dan
bukan individualistis, dimana manusia itu tidak semata-mata dipandang sebagai
manusia pribadi, melainkan sebagai warga dari satu negara.
Tetapi, bagaimana bisa sebuah negara ini mengetahui
apa yang baik bagi warganya? Dapatkah dijamin bahwa negara sendiri memiliki
moral yang baik? Yang dapat diberikan kepada para warganya?
Plato menjawab dengan tegas dan jelas. Negara harus
dikuasai oleh para ahli pikir atau filsuf. Hanya filsuf yang dapat melihat
persoalan yang sebenarnya dalam kehidupan, yang dapat membedakan mana yang baik
dan mana yang buruk. Filsuf melihat nilai-nilai yang abadi. Filsuf dapat
membebaskan diri dari “dunia lahir yang berubah dan berganti-ganti dalam
gejalanya”. Mereka mengetahui persoalan “sampai pada inti dari segala-galanya”.
2. Agama Kristen
Konsep negara sebagai lembaga masyarakat yang memiliki
kekuasaan mutlak ini kemudian diambil alih oleh agama Kristen, setelah agama
ini menjadi agama yang mapan di bawah pemerintahan raja Konstantin Agung
(305-337 Masehi).
Agama Kristen kemudian memberikan keabsahan kepada
raja-raja Kristen yang memerintah dengan kekuasaan yang hampir mutlak.
Kekuasaan raja ini hanya dibatasi oleh kekuasaan gereja.
Pengaruh agama ini kemudian semakin kuat, sehingga
seorang raja akan mengalami krisis legitimasi kekuasaan jika tidak diberkati
oleh gereja. Posisi gereja kemudian lebih tinggi daripada raja-raja Kristen
yang menguasai daratan Eropa saat itu.
Adanya gereja yang memberikan jaminan bahwa negara
yang dipimpin oleh raja akan mengarahkan warganya ke arah jalan yang baik dan
benar. Ini sesuai dengan pemikiran Plato dan Aristoteles.
Negara yang diberkati oleh gereja dengan demikian
dianggap sebagai negara yang diberkati oleh Tuhan. Karna itu raja pada saat itu
sangat dipatuhi oleh warganya. Kalau kita perhatikan, terdapat perbedaan antara
alasan-alasan pengabsahan kekuasaan negara yang diberikan pada jaman Yunani
kuno dan ketika agama Kristen menguasai daratan Eropa.
Pada zaman Yunani kuno, pengabsahan ini didasarkan
pada alasan-alasan yang duniawi. Kekuasaan yang besar diberikan kepada negara,
karena negara merupakan kekuatan yang memberikan pendidikan moral bagi
individu-individu warganya, yang dianggap hanya mengutamakan kepentingannya
sendiri.
Sedangkan pada jaman berkuasanya agama Kristen,
pengabsahan ini diberikan berdasarkan kekuasaan Ilahi. Kekuasaan raja di dunia
merupakan perpanjangan kekuasaan Tuhan atas alam semesta. Hubungan negara
dengan kekuasaan adikodrat ini dianggap akan menjamin kualitas moral negara
tersebut.
3. Hugo de Grotius
Pada abad ke-16, proses pengabsahan ini kembali
menjadi bersifat duniawi. Hal ini tentunya ada hubungannya dengan munculnya
zaman pembaharuan dan zaman pencerahan, di mana peran agama mulai melemah, dan
orang kembali lebih mendasarkan hidupnya pada peran ilmu yang rasional.
Dampak dari perkembangan ini terjadi pada proses
pengabsahan kekuasaaan negara. Kekuasaan raja yang disahkan oleh gereja
dianggap sebagai suatu yang irasional dan mengalami erosi.
Pada jaman ini lah tampil Hugo de Groot (1583-1645),
yang memberi kan alasan yang rasional bagi kemutlakan kekuasaaan negera.
Kemutlakan kekuasaan negara diperoleh bukan karena negara dianggap sebagai
wakil Tuhan di dunia, tetapi karna hal ini sebenarnya menguntungkan rakyat
sendiri.
Sebelum ada negara, kehidupan rakyat pada suku-suku primitif
misalnya, sangat kacau. Hal ini disebabkan karena setiap orang bebas untuk
melakukan apa saja sesuai dengan kehendaknya. Masyarakat menjadi tidak tertib.
Karna alasan inilah maka negara kemudian didirikan, dengan kekuasaan yang
mutlak. Kata Grotius.
4. Thomas Hobbes
Pikiran Grotius kemudian dikembangkan lagi oleh Thomas
Hobbes (1588-1679) seorang filsuf dari Inggris.Di teorinya, Hobbes juga kembali
kepada masyarakat sebelum adanya negara. Dalam masyarakat ini, yang berlaku
adalah ius naturalis atau hukum alam,
dimana tiap-tiap orang berusaha mempertahankan dirinya untuk hidup, kalau perlu
dengan menyerang yang lain.
Dalam keadaan seperti ini, setiap individu selalu
merasa tak aman, selalu dalam keadaan ketakuan atas keselamatan dirinya, karena
pada dasarnya manusia adalah serigala bagi manusia yang lain.
Maka dari itu dibentuklah secara bersama lex naturalis atau undang-undang alam,
yang merupakan “suatu peraturan yang ditemui dengan perantaraan akal yang
menyuruh atau melarang dan membatasi kemerdekaan untuk kepentingan orang lain”.
Tujuan undang- undang ini adalah menciptakan perdamaian. Caranya dengan
membatasi kemerdekaan alamiah dari setiap orang.
Disamping membatasi kemerdekaan alamiah dari setiap
orang. Hobbes berpendapat perlunya diangkat seorang raja dengan kekuasaan yang
mutlak. Kekuasaan ini harus bersifat mutlak, karna raja berdiri di atas
kepentingan rakyatnya.
Tetapi raja sendiri bukan merupakan bagian dari
perjanjian itu. Hobbes melanjutkan, raja tidak dapat melanggar hukum, karena
raja adalah hukum itu sendiri.
Pendapat Hobbes ini harus dipahami karna latar
belakang keadaan Inggris saat itu. Perang saudara sedang berkecamuk. Penduduk
sangat menderita. Menghadapi semua ini, wajarlah bila Hobbes berpikir bahwa
tanpa ada kekuatan yang besar yang bisa memaksakan kehendaknya pada masyarakat,
keadaan kacau ini akan terus terjadi tanpa henti. Kekuasaan itu adalah negara,
yang diwakili oleh seorang raja yang memiliki kekuasaan yang mutlak.
Individu harus rela menyerahkan hak-haknya supaya kepentingannya,
keamanannya, dan perdamaian dapat terjamin. Kalau tidak, akan ada kekuasaan
politik yang bisa efektif. Inilah negara yang berkekuasaan besar, yang oleh
Hobbes dinamakan Leviathan.
5. Hegel
Pendapat yang mendukung pemberian kekuasaan yang besar
kepada negara, diajukan pula oleh Hegel. Argumennya sebenarnya tidak jauh
berbeda dengan para pemikir sebelumnya, yakni mempertentangkan kepentingan
pribadi dari individu yang egoistis melawan kepentingan umum yang lebih besar.
Tetapi Hegel menempatkan pertentangan ini dalam sebuah
pemikiran yang lebih mendalam tentang perkembangan sejarah umat manusia.
Bagi Hegel, sejarah umat manusia merupakan proses dari
sebuah ide yang universal yang sedang merealisasikan atau mengaktualisasikan
dirinya. Ide besar yang universal tersebut, yang kira-kira dapat disamakan
dengan ide Tuhan dalam menciptakan umat manusia, tidaklah menjelma dengan
segera.
Ide tersebut berproses melalui apa yang dinamakan
sejarah. Ujung dari proses sejarah adalah dijelmakannya ide universal tersebut
menjadi sebuah kenyataan, yakni dengan terbentuknya sebuah masyarakat manusia
yang ideal.
Dengan demikian, tujuan dari gerak sejarah adalah
dijelmakannya masyarakat manusia yang “sempurna”. Sejarah merupakan
saling-tindak atau interaksi antara ide universal tersebut dengan kenyataan
sehari-hari yang aktual.
Jadi apa yang ada sekarang bukanlah sebuah kenyataan
yang otentik dan selesai, melainkan sebuah kenyataan yang sedang berproses
menjadi suatu yang lain menjadi kenyataan yang ideal.
Proses ini dapat kita lihat misalnya pada sebuah biji
mangga yang sedang tumbuh menjadi pohon mangga. Bentuk ideal dari sebuah biji
mangga adalah tujuan akhirnya, yakni menjadi pohon mangga. Biji tersebut tidak
dapat dikatakan pohon mangga, tetapi tidak juga bisa diingkari bahwa dia akan
menjadi pohon mangga.
Dia pohon mangga, tetapi sekaligus juga bukan pohon
mangga. Ujung dari proses sejarah mangga ini adalah munculnya sebuah pohon
mangga. Pohon mangga adalah tujuan dari proses tersebut, seperti halnya masyarakat
manusia yang sempurna adalah tujuan dari proses sejarah manusia. Dialektika
antara ada (biji mangga) dan tiada (pohon mangga yang belum ada) dijelmakan
dalam proses menjadi (proses beralih ke pohon mangga).
Dalam filsafat Hegel, sejarah bergerak ke suatu tujuan
akhir tertentu. Dengan demikian, proses sejarah bersifat deterministik, artinya
tujuannya sudah tertentu. Sejarah merupakan proses kehidupan manusia untuk
melahirkan masyarakat manusia yang sempurna di ujung proses sejarah itu.
Masyarakat yang sekarang bukanlah masyarakat yang
ideal karna belum sempurna, tetapi dia adalah masyarakat manusia karna akan
menjadi manusia yang sempurna nantinya. Keadaan kehidupan manusia akan menjadi
lebih baik sepanjang perjalanan sejarahnya.
Dia memberi contoh. Di zaman dulu, hanya ada satu
orang yang berkuasa, yakni dalam pemerintahan monarki. Kemudian beberapa orang
berkuasa dalam sistem oligarki. Sekarang, dan dikemudian hari, sistem sosial
politik yang akan muncul dan menjadi lestari adalah demokrasi, ketika semua
orang berkuasa.
Inilah masyarakat manusia yang sempurna, yang akan
menjelma di masyarakat manusia yang sempurna, yang akan menjelma di ujung
sejarah manusia. Dengan demikian, sejarah sebenarnya bergerak ke arah
pemerdekaan manusia, dimana sebuah masyarakat yang merdeka dijelmakan.
Kemudian, Hegel menyatakan bahwa negara merupakan
penjelmaan dari ide yang universal ini. Sedangkan individu merupakan penjelmaan
dari yang partikuklar, dalam bentuk kepentingan yang sempit. Negara
memperjuangkan kepentingan yang lebih besar, yakni merealisasikan ide besar
yang menjadi tujuan dari gerak sejarah umat manusia.
Negaralah yang akan menjadi agen sejarah untuk
membantu manusia yang sekarang berproses menjadi manusia yang bisa menciptakan
masyarakat yang sempurna dikemudian hari. Keinginan negara merupakan keinginan
umum untuk kebaikan semua orang. Karena itulah negara harus dipatuhi.
Atas dasar inilah Hegel berpendapat bahwa negara
modern memiliki hak untuk memaksakan keinginannya kepada warganya. Karena itulah
negara mewakili keinginan umum, negara merupakan menifestasi dari suatu yang ideal
dan universal.
Dengan mematuhi negara, individu yang menjadi warga
negara tersebut sedang dibebaskan dari kepicikannya yang hanya memperjuangkan
kepentingan dirinya yang sempit. Negara adalah “penjelmaan” dari kemerdekaan,
rasional, yang menyatakan dirinya dalam bentuk yang objektif”. Karena itu,
negara ada di atas masyarakat, lebih utama dan lebih tinggi daripada msayarakat
dibawahnya.
5. Negara Organis
Pemikiran Hegel ini, juga pemikiran-pemikiran
sebelumnya yang mendukung ditegakkannya negara kuat, dilanjutkan oleh teori
negara organis di zaman modern. Dalam konsep ini, negara merupakan sebuah
lembaga yang memiliki kemauan sendiri yang mandiri. Dia bukan sekedar alat dari
keinginan sekelompok orang di masyarakat, atau gabungan dari keinginan-keinginan
kelompok yang ada di masyarakat.
Negara memiliki misinya sendiri, yaitu menciptakan
masyarakat yang lebih baik. Atas dasar ini, negara bukan lagi merupakan lembaga
yang pasif, menjadi alat dari kepentingan-kepentingan yang ada di masyarakat.
Tetapi negara secara aktif mencampuri urusan masyarakat untuk membentuk
masyarakat yang lebih baik.
Dalam teori ini tampak jelas pengaruh dari teori Plato
dan Aristoteles tentang pentingnya negara untuk menumbuhkan moralitas baru
dalam masyarakat. Teori ini, di negara-negara Amerika Latin yang didominasi
oleh agama Katholik, diperkuat atau didasarkan oleh pernyataan Paus Plus XII
dalam pernyataanya tentang fungsi negara
di negara modern (1939), yang antara
lain menyatakan:
“adalah hak dan kewajiban yang agung dari negara untuk
mengendalikan, membantu, dan mengarahkan kegiatan-kegiatan perorangan dalam
suatu kehidupan nasional, sehingga mereka bisa bekerja sama secara harmonis
menuju kepada suatu kepentingan bersama”. (Dikutip dari Stepan, 1978:33)
Jelas sekali pernyataan Sri Paus ini merupakan
penekanan kembali teori negara Plato dan Aristoteles, kemudian dihidupkan
kembali pada Abad Pertengahan dimana kekuasaan negara dikatikan dengan kekuasaan
Gereja. Inti dari teori ini adalah negara merupakan lembaga yang mandiri,
bertugas menegakkan moral para warganya.
6. Negara Fasis
Salah satu bentuk ekstrim dari negara organis adalah
negara fasis. Kata fasis sendiri berasal dari bahasa latin yang berarti
“seikat”. Kata fasisme dimaksudkan untuk sebuah ikatan yang kuat, ikatan yang
erat, persatuan yang kokoh dari sebuah bangsa, dengan negara sebagai
pimpinannya.
Negara menjadi badan dan roh bangsa tersebut. Negara
menentukan, dan menjadikan bangsa itu besar
dan mulia.
Negara Fasis adalah sebuah negara totaliter, bukan
sekedar otoriter. Kalau dalam negara otoriter masih dimungkinkan pluralisme
yang terbatas, dalam sebuah negara totaliter, tidak diperkenankan organisasi
lain apapun tumbuh, kecuali organisasi yang dibentuk negara. Tidak boleh ada
nilai lain berkembang, kecuali nilai yang diperkenankan oleh negara.
Semua orang harus menyerahkan dirinya kepada negara,
karna negara tahu apa yang baik bagi
bangsa itu. Dan negara adalah penggerak
utama untuk merealisasikan kebaikan ini.
Ketika Mussolini berkuasa di Italia sebelum Perang
Dunia II, dia memerintah secara totaliter. Kehidupan politik disensor, semua
media dari media cetak sampai media elektronik bahkan pementasan-pementasan
kesenian juga kena sensor.
Fasisme menentang sosialisme, komunisme dan demokrasi.
Negara harus kuat, negara harus menegakkan disiplin. Negara Fasis meminta
supaya rakyat berkurban dan patuh.
Negara menciptakan “persatuan” yang merupakan kata
lain dari totalitas. Pendeknya, negara menguasai semuanya, dari ekonomi,
politik, dan moral. Karena itu semboyan kaum Fasis adalah “Percaya! Patuh!
Berjuang!”.
Negara Fasis ini muncul di Italia dan kemudian di
Jerman sebelum perang dunia II. Keadaan kedua negara tersebut ketika itu memang
sangat memprihatinkan. Keadaan ekonomi yang buruk diikuti oleh kepemimpinan
negara yang lemah, sementara orang-orang sosialis melalui serikat-serikat buruh
terus merongrong pemerintah dengan demonstrasi dan pemogokan.
Dalam keadaan inilah Benito Mussolini dan Adolf Hitler
muncul. Keduanya adalah bekas militer Perang Dunia I. mereka membentuk partai
dan menjanjikan disiplin yang kuat bagi bangsa mereka.
Tawaran ini pun langsung diterima oleh masyarakat karena
keadaan yang sangat kacau saat itu, terutama bagi kelas menengah yang
membutuhkan semacam stabilitas politik dan disiplin masyarakat untuk bisa
mengembangkan bisnisnya. Karena itu, muncullah dan kemudian berkembang dengan
pesat negara fasis.
7. Teori Marxis-Leninis
Dalam Marxisme-Leninisme, teori negara kuat ini
menjelma dalam konsep negara sebagai diktatur
proletariat. Di sini, negara juga memiliki kekuasaan mutlak untuk
memaksakan kehendaknya terhadap warganya.
Alasan yang dipakai serupa dengan alasan Hegel, yakni
misi kesejahteraan, meski tidak sama. Hegel, seperti sudah diuraikan di atas,
menyatakan bahwa negara mempunyai misi untuk membawa masyarakat manusia
merealisasikan ide universal, yakni masyarakat yang merdeka.
Dalam konsep diktatur
proletariat, misi negara juga sama, yakni merealisasikan sebuah masyarakat
yang dianggap sebagai ujung terakhir dari proses sejarah, yakni masyarakat
egalitarian, yang juga dikenal sebagai masyarakat komunis.
Untuk memahami konsep ini, kita harus membahas, paling
sedikit dalam garis-garis besarnya, konsep Marxisme tentang gerak sejarah. Karl
Marx adalah salah seorang murid Hegel, mengambil inti sari ajaran Hegel ini.
Menurut Marx, sejarah manusia merupakan sejarah
pertentangan kelas. Di zaman feodal, terjadi pertentangan antara kelas
bangsawan dan kelas petani, di zaman perbudakan, kelas pemilik budak dengan
budaknya, di zaman kapitalisme, kelas pemilik modal melawan buruhnya.
Pertentangan kelas ini baru berhenti, demikian kata
teori tersebut, pada saat terciptanya masyarakat komunis, dimana klas buruh
berkuasa. Dalam masyarakat ini tidak ada lagi eksploitasi, karna semua diatur
secara bersama. Tidak ada lagi pemilikan modal (alat produksi) secara pribadi,
baik oleh individu maupun kelompok.
Sebagaimana diketahui, dari sejarah kita lihat bahwa
terjadinya pertentangan kelas disebabkan karena modal (alat produksi) dikuasai
oleh sekelompok orang dalam masyarakat. Baik itu kaum bangsawan, para pemilik
budak, ataupun para kapitalis. Di masyarakat komunis, pemilikian modal oleh
sekelompok orang dihapuskan.
Modal dimiliki secara kolektif oleh semua anggota
masyarakat. Dengan demikian, tidak ada perbedaan buruh dan majikannya. Semua
orang adalah buruh sekaligus majikan. Akibatnya, tidak ada pertentangan kelas di
masyarakat. Inilah akhir dari perjalanan sejarah umat manusia. Di sini, manusia
merdeka, karena memiliki hak-hak politik dan hak-hak ekonomi sama.
Masyarakat komunis, bagi kaum Marxis, merupakan tujuan
akhir yang harus direalisasikan. Dan yang bisa merealisasikannya adalah kelas
buruh dan petani. Kelas majikan pemilik modal jelas akan menentang usaha untuk
merealisasikan masyarakat yang sama rata sama rasa ini.
Tetapi, kelas buruh sangat berkepentingan untuk
menciptakan masyarakat komunis. Karena itu, kelas buruh dan bukan negara
(seperti yang dikatakan Hegel), yang dianggap sebagai agen sejarah yang akan
membidani lahirnya masyarakat merdeka.
Ketika revolusi sosialis sudah dimenangkan oleh kaum
buruh tetapi sisa-sisa kekuatan reaksioner masih tetap berkeliaran dan masih
memiliki kekuatan untuk menghalangi kelas buruh bekerja menciptakan masyarakat
komunis, maka perlu diciptakan diktatur
proletariat (negara diktatur yang bekerja untuk kaum proletar bagi
terciptanya masyarkat komunis). Negara ini harus memiliki kekuasaan yang besar,
supaya bisa cepat dan efektif melaksanakan misinya.
Setelah misi tersebut tercapai, masyarakat komunis
tercipta, maka menurut paham Marxisme, negara diktatur proletariat bukan saja
tidak diperlukan lagi, tetapi bahkan negara sebagai sebuah lembaga harus
dihapus. Masyarakat mengurus dirinya sendiri, tanpa ada lembaga kekuasaan yang
permanen.
Kalau ada persoalan, secara ad hoc masalah ini dibicarakan untuk dipecahkan. Masyarakat komunis
adalah masyarakat tanpa negara. Manusia tidak memerlukan lagi lembaga
kekuasaan, karena segala kebutuhannya, baik kebutuhan politik maupun ekonomi,
sudah dipenuhi.
Dengan demikian, dalam pemikiran Marxisme, negara
dengan kekuasaan mutlak hanya diperlukan pada waktu terjadi transisi dari
sosialisme (ketika kelas buruh sudah memenangkan revolusi sosialis, tetapi kelas
borjuasi belum ditumpas seluruhnya) ke komunisme (ketika sudah tidak ada lagi
pembedaan antara buruh dan majikan, karena sudah terciptakan demokrasi politik
dan demokrasi ekonomi).
Penulis: R. Almeyda Arjuna Sjaiful, seorang
mahasiswa hukum Universitas Widya Mataram, yang aktif di organisasi Sekolah
Bersama (SEKBER) Yogyakarta. Dan juga merupakan anggota komunitas menulis Bintang
Inspirasi (BI) Widya Mataram.
Posting Komentar untuk "7 Teori Negara, Mana yang Paling Ideal untuk Sebuah Negara?"