Di Negeri ‘Fiktif Indonesia’ Ada 4,7 Juta Anak Menjadi Buruh
Klickberita.com
– Di negeri ‘fiktif Indonesia’ ini, segudang problema tak kunjung selesai.
Rezim berganti rezim, perubahan tak juga terselesaikan. Minimal tampak serius
mencicilnya. Tapi tetap saja Tuan Presiden tidak perduli itu semua.
Lihat saja rezim
sekarang, Jokowi dan Kalla gembar-gembor saat kampanyenya di tahun 2014 lalu.
Hasilnya sekarang apa? Toh, masih banyak janji-janjinya yang belum terpenuhi.
Bicara tentang HAM, bicara mengusut tuntas pelanggaran HAM, omong kosong semua.
Tidak usah pelanggaran
HAM di masa orde baru, kasus Novel Baswedan saja tidak jelas sampai sekarang
(kasusnya di-PHP-in selama setahun). Katanya mau perkuat KPK, ada yang ingin
menghabisi KPK, kok diam saja? Karena kasus penyiraman air keras yang dialami
Novel, matanya menjadi cacat.
Dan kali ini kita fokus
ke hak asasi anak-anak Indonesia yang masih diabaikan oleh negara ‘fiktif
Indonesia’, di Pasal 1 Ayat 12 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang
Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak:
“Hak Anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi,
dan dipenuhi oleh orangtua, keluarga, masyarakat, negara, pemerintah, dan
pemerintah daerah”.
Ilustrasi buruh anak Indonesia | Foto Alliance/C.Leinbach/Robert harding |
Itu artinya jika masih
banyak anak-anak di Indonesia yang tidak sejahtera, maka haknya sebagai manusia
sudah diacuhkan oleh negaranya. Rezim fiktif sekarang ini memang tak peka
terhadap kesejahteraan anak-anak Indonesia. Jika bangsa yang katanya besar ini
menginginkan perubahan yang lebih baik lagi di tahun-tahun ke depan, seharusnya
lebih cerdas mana yang lebih diutamakan. Pencitraan atau kesejahteraan
anak-anak? Main motor-motoran atau pendidikan anak-anak?
Lihat data di bawah
ini!
Tahun 2015 sebanyak 2,2
juta buruh anak yang bekerja di berbagai sektor, yakni sektor perdagangan,
sektor industri, sektor pertanian, dan sektor jasa. Berdasarkan laporan dari
Kementerian Tenaga Kerja (Kemnaker) tersebut, usia anak-anak itu 15-17 tahun.
International Labour
Organization (ILO), sebuah organisasi buruh Internasional di bawah Persatuan
Bangsa-Bangsa (PBB), melaporkan pada tahun 2016 sebanyak 2,3 juta buruh anak
Indonesia (Rappler.com).
Dan catatan Komisi
Perlindungan Anak (Komnas PA) tahun 2017, buruh anak yang bekerja di daerah
pedesaan (1,1 juta anak) dan perkotaan (2,3 juta anak), dengan total sebanyak
4,7 juta buruh anak. Umumnya anak yang bekerja tersebut berusia 13-15 tahun
(Viva.co.id, Desember 2017).
Berdasarkan data-data
di atas, ternyata buruh anak Indonesia mengalami penaikan yang sangat
signifikan. Seolah-olah pemerintah tampak melakukan pembiaran terhadap nasib
buruh anak Indonesia. Sejatinya itu adalah masa-masa keemasan mereka, sebuah
kemerdekaan anak Indonesia yang perlu direnungkan kembali?
Salah satu faktor yang
paling memprihatinkan buah hati kita ini bekerja karena kemiskinan. Padahal
para pendiri bangsa sudah mengamanahkannya di Pasal 34 Undang-undang Dasar
1945: “Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara”.
Karena dari keluarga
miskin yang menyebabkan anak-anak sudah bekerja. Dari kemiskinan akan
menimbulkan pendidikan rendah, sehingga anak putus sekolah dan masuk ke dunia
kerja. Lingkaran kemiskinan dengan permasalahn bagai hubungan sebab-akibat yang
saling mempengaruhidan tidak mungkin diselesaikan secara parsial atau
sepotong-sepotong, (Penelitian UNICEF 2004).
Baca juga:
Apakah Ini Landasan Rocky Gerung soal Kitab Suci Fiksi?
Si ‘Aku’ yang Tak Tahu Syariat Islam
Filosofi Saya Update, Maka Saya Ada
Baca juga:
Apakah Ini Landasan Rocky Gerung soal Kitab Suci Fiksi?
Si ‘Aku’ yang Tak Tahu Syariat Islam
Filosofi Saya Update, Maka Saya Ada
Bentuk-bentuk pekerjaan
terburuk bagi anak buruh Indonesia dalam laporan UNICEF adalah:
1. Anak-anak yang
dilacurkan
2. Anak yang
diperdagangkan
3. Anak yang bekerja di
jermal
4. Anak yang bekerja di
pertambangan (intan, batu bara, marmer, pasir)
5. Anak yang menjadi
pembantu rumah tangga
6. Anak yang menjadi
tukang pikul dan kuli pelabuhan
7. Anak yang bekerja di
sarana perhubungan (sebagai tukang becak, sains andong, kernet, dan lain-lain)
8. Anak yang bekerja
pada pukat
9. Anak yang bekerja di
perkayuan
10. Anak yang bekerja
menjadi pedagang asongan
11. Anak yang bekerja
menjadi penyelam mutiara
12. Anak yang bekerja
menjadi pemecah batu
13. Anak yang bekerja
di daerah konflik
14. Anak yang bekerja
di perkebunan
15. Anak yang bekerja
sebagai pemulung
16. Anak yang bekerja
sebagai nelayan
17. Anak yang bekerja
sebagai pembuat alas kaki
18. Anak yang terlibat
perdagangan narkoba
19. Anak yang bekerja
di sektor formal
Mengapa persoalan yang
menyangkut anak tidak segera menjadi agenda penting pada banyak negara
berkembang? Mengapa selama bertahun-tahun hampir tidak ada perbaikan yang
berarti meskipun Indonesia berada di baris terdepan negara yang meratifikasi
Konvensi Hak Anak? Barangkali salah satu jawabnya adalah pertimbangan bahwa isu
anak bukanlah isu politik (Agnes Aristiarini/Maria Hartiningsih, Kompas, 21
Juli 2000).
Kesejahteraan
Anak
Meskipun perbudakan
telah dinyatakan sebagai tindakan melanggar hukum di seluruh dunia, namun
banyak keadaan yang membuat kehidupan dan era anak-anak ini dapat disebut
sebagai “mendekat perbudakan”. Praktik mirip perbudakan kendati bertentangan
dengan hukum, tetap berlangsung secara meluasdi seluruh dunia. Hal ini mencakup
eksploitasi buruh anak-anak, pelacuran yang dipaksakan, dan penjualan manusia,
serta penjualan narkoba dengan perantaran nak-anak (Leah Levin, 2005: 67).
Kesejahteraan anak
adalah hak asasi anak yang harus diusahaka bersama. Pelaksanaan pengadaan kesejahteraan
bergantung pada partisipasi, baik antara objek dan subjek dalam usaha pengadaan
kesejahteraan anak tersebut. Setiap anggota masyarakat dan pemerintah
berkewajiban dalam pengadaan kesejahteraan anak dalam suatu masyarakat yang
merata, sebab ini merupakan perlindungan bagi anak (Arif Gosita, 1989: 33).
Masih menurut Arif
Gosita, harus pula dilaksanakan agar pelaksanaan hak asasi tersebut jangan
dihalangi dengan berbagai macam dalih demi kepentingan golongan tertentu.
Penghalangan ‘pengadaan’ kesejahteraan anak dengan perspektif kepentingan
nasional, masyarakat yang adil, dan makmur sprituil dan materil, adalah suatu
penyimpangan yang mengandung faktor-faktor kriminogen/menimbulkan kejahatan,
dan viktimogen/menimbulkan korban. Anak wajib dilindungi agar tidak menjadi
korban tindakan kebijaksanaan siapa saja, individu atau kelompok, organisasi
swasta, maupun pemerintah, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Dendamnya
Seorang Anak-anak Membahayakan Kedaulatan Negara
Ujar Profesor Asmara
Dewo (tidak perlu dipercaya gelar tersebut), dengan quote bernada ancaman: “Jika
di suatu negara belum mampu menegakkan keadilan, maka selalu ada barisan
pemberontakan”. Quote ini terinspirasi dari pengamalan butir ke-5 Pancasila: “Keadilan
bagi seluruh rakyat Indonesia”. Tapi faktanya Pancasila hanya sebatas pajangan
di dinding gedung pendidikan, kantor pemerintahan, dan ruang kepresidenan.
Selain melahirkan
pemberontakan, ketidakadilan juga melahirkan kritikan. Biasanya sebelum
memberontak, aka nada kritikan-kritikan terlebih dahulu. Seperti kritikan
halus, sedang, dan keras. Sampai fase di mana kritikan tidak didengar,
pura-pura tuli, maka barisan pemberontakan ini semakin menguatkan massa untuk
merebut keadilan itu sendiri.
Meskipun ia saat itu
masih anak-anak, belum tahu haknya sebagainya manusia seutuhnya, belum bisa
menuntut haknya ke negara, jangan kira ketika ia sudah cerdas melupakan ‘kejahatan’
negara itu kepadanya. Boleh jadi ia tumbuh dan berkembang bersama kebencian
terhadap pemerintahnya. Ya, karena ia sadar bahwa semasa anak-anaknya,
kewajiban negara untuk menyejahterakan hidupnya dirampas oleh negara itu sendiri.
Sebenarnya kita tidak
ingin semua kedendamaan ini terjadi, baik di waktu sekarang maupun di masa yang
akan datang. Hanya saja pemerintah Indonesia secara tidak langsung memaksa
mereka, mendorong mereka menjadi manusia-manusia pemberontak di negerinya
sendiri. Andai hal ini menjadi kenyataan, siapa yang harus disalahkan? Si
pemberontak atau pemerintah?
Jokowi selaku presiden
sekarang harus lebih peka terhadap persoalan hak asasi anak-anak Indonesia,
jangan cuma bisa bagi-bagi hadiah sepeda. Cukup terapkan undang-undang
kesejahteraan bagi anak-anak, agar adil dan merata. Sungguh, kita tidak bisa
menjaga bangsa, tanpa menyiapkan generasi yang mendapatkan keadilan yang merata
ini. [Asmara Dewo]
Posting Komentar untuk "Di Negeri ‘Fiktif Indonesia’ Ada 4,7 Juta Anak Menjadi Buruh"