Mencari Solusi Terbaik untuk Permasalahan Negara
Klickberita.com
– Akhir-akhir ini jagat maya kita dibanjiri dengan pemberitaan Presiden Joko
Widodo (Jokowi) mengesahkan Perpres Ketenagakerjaan, bahwa masuknya tenaga
kerja Asing harus dipermudah. Tentu hal ini menimbulkan reaksi bebagai
kalangan.
Perpres ini ditandatangani
Jokowi pada 26 Maret 2018 dan diundangkan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly
pada 29 Maret 2018.
Presiden RI, Joko Widodo | Foto Antara |
Sebelumnya, Presiden
Jokowi membuka rapat terbatas penataan Tenaga Kerja Asing (TKA) di Kantor
Kepresidenan, Di Jakarta. Dalam rapat tersebut Jokowi meminta agar perizinan
untuk tenaga kerja asing dipermudah.
Namun menurut Wakil
Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Ahmad Muzani mengatakan, sebaiknya
Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing
(TKA) dicabut. Menurutnya peraturan itu mengganggu eksistensi tenaga kerja di
Indonesia.
Jika dikaji secara
mendalam, Pengesahan Perpres Nomor 20 Tahun 2018 ini, dengan alasan untuk
memperbaiki ekonomi nasional. Namun tidak lantas harus mendatangkan Tenaga
Kerja Asing, alasan itu sungguh tidak mendasar dan terkesan di buat-buat.
Pasalnya, justru ketika
mendatangkan TKA malah akan menambah daftar permasalahan di negeri ini, yaitu
pengangguran Tenaga Kerja Dalam Negeri semakin meningkat. Di tahun 2017 saja
angka pengangguran tercatat 7,01 juta, data tersebut dikeluarkan Badan Pusat
Statistik (BPS) pada tahun 2017.
Maka mendatangkan
tenaga kerja Asing bukan solusi yang tepat, justru pengesahan Perpres No. 20
Tahun 2018 itu, akan menambah ketidak percayaan masyarakat terhadap penguasa
saat ini. Yang seharusnya hal itu tidak dilakukan, justru dengan disahkan
Perpres, presiden kita terkesan didikte pihak tertentu.
Di sinilah masalah baru
bermunculan, ketika masyarakat menganggur karena lahan pekerjaan sudah diisi
oleh para TKA, secara otomatis akan makin banyak pengangguran. Dan bisa jadi
berdampak pada meningkatnya kasus kriminal, perampokan, pencurian, dan
sebagainya bisa saja terjadi, karena tuntutan perut rakyat yang kelaparan.
Menurut data yang
dijabarkan Tito, jumlah kejahatan pada tahun 2017 berada di angka 291.748
kasus. Jumlah ini menurun ketimbang tahun sebelumnya, yakni 380.826 kasus.
"Dibanding tahun
lalu, tahun ini turun 23 persen," kata Tito saat memaparkan 'Catatan Akhir
Tahun Kepolisian' di Gedung Rupatama Mabes Polri, Jakarta Selatan, Jumat, 29
Desember 2017.
Meskipun dari 2016 ke
2017 angka kejahatan menurun 23 persen, bukan berarti data tersebut akan
stabil, bahkan jika Tetap Perpres tersebut diberlakukan dan tidak cabut, justru
akan menambah data kriminal tersebut. Karena adanya kriminal adalah dorongan
perut.
Begitulah berbagai
persoalan menimpa negeri pertiwi ini. Tidak bisa dipungkiri lagi persoalan
menimpa di berbagai bidang, bahkan
saking banyaknya masalah, sampai-sampai menyelesaikan satu masalahpun begitu sulit.
Tidak jarang menimbulkan masalah cabang.
Membahas dampak
didatangkannya tenaga kerja asing saja begitu peliknya, berbagai kemungkinan
bisa saja terjadi. Itu baru dari satu kasus, belum lagi permasalahan di
datangkannya beras impor yang justru alasannya lebih tidak masuk akal.
Ketika Menteri Pertanian
ditanya, untuk apa impor besar? Katanya untuk interfensi pasar karena kenaikan
harga melonjak, melonjaknya harga beras dikarenakan kelangkaan barang, olehnya
itu harus impor. Tutur Menteri
Perdagangan Enggartiasto Lukita mengumumkan impor beras.
Yang padahal impor
tersebut dilakukan saat para petani dalam negeri sedang dalam masa panen, dari
sini menimbulkan tanda tanya yang besar. Kenapa bisa saat sedang panen, impor
dilakukan, bagaimana nantinya dengan hasil panen para petani dalam negeri?
Yang lebih lucu menteri
pertanian bilang, ketika beras impor datang, berasnya akan ditimbun, karena
sedang masa panen.
Dampak dari impor beras
ini sudah jelas menutup perputaran ekonomi para petani, jika hasil panen mereka
tidak tau mau disalurkan kepasar mana, karena murahnya harga, tentu para petani
rugi besar.
Belum lagi permasalah
impor garam, masalah perpolitikan pun sama, tidak tahu mau dibawa kemana
perpolitikan ini. Pengaruh sekularisme lahirlah politik yang oportunistik, yang
berorientasi kepada golongan dan pribadinya, bukan lagi demi kepentingan
rakyat.
Ganti
Presiden
Negara itu ibarat
kendaraan juga sopirnya, jika kendaraanya jelek maka tidak bisa jalan sekalipun
sopirnya mahir. Begitupun sebaliknya, jika kendaraanya bagus lalu sopirnya
amatiran maka sama juga tidak akan jalan bahkan bisa saja nabrak. Maka jika
sebuah negara ingin maju, harus pemimpinnya berkemampuan dan sistemnyapun baik,
(Referensi, Dwi Condro Triono, Penulis buku Retorika mengguncang dunia).
Banyaknya problem ini,
sudah pasti menuntut untuk dicarikan solusi terbaiknya, yang disebut solusi
terbaik adalah solusi tuntas atas semua permasalahan. Bukan yang menyelesaikan
secara parsial, karna itu bukan solusi tuntas.
Sudah pasti persoalan
ini ada pangkal terlahirnya yang menyebabkan problem. Jika kita mau lihat sejarah,
kita sudah pasti mengatakan problem pokoknya adalah salahnya mengambil sistem
yang dipakai di negeri ini, yaitu demokrasi. Mungkin tidak semua setuju dengan
hal ini, namun bisa kita lihat faktanya, setelah itu silahkan menyimpulkan.
Berbagai cara telah
ditempuh untuk menyelesaikan carut marut dalam negeri ini, salah satunya adalah
dengan berganti-gantinya presiden, bahkan telah dilakukan beberapa kali,
dimulai dari presiden pertama sampai sekarang presiden yang ke tujuh.
Namun permasalahan ini
begitu amat sulit untuk dicarikan solusi tuntasnya. Memang benar ada kala
memuncak dan menurunnya persoalan ini, namun perlu dicatan di setiap era
kepemimpinan, belum ada yang mampu untuk menyelesaikan secara tuntas.
Yang paling menarik,
jika kita lihat permasalah utang. Harus diakui,banyak problem yang terjadi di setiap
masa kepemimpinan, namun cukup mengambil permasalahan pokok saja, terutama
masalah utang, berikut prekuensi hutang negara dari presiden ke dua sampai
presiden Joko Widodo.
Liputan6.com, Jakarta
Indonesia mencatatkan penurunan rasio utang sejak era pemerintahan beberapa
presidendari. Presiden Soeharto, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid (Gus Dur),
Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dan terakhir
pemerintahan Joko Widodo (Jokowi).
Berdasarkan data yang
dikompilasi dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Senin (13/2/2017), melongok
perkembangan utang dan rasio utang pemerintah pusat dari masa ke masa,
puncaknya ada di 1998, ketika krisis moneter menghantam Indonesia.
Presiden ke-2 Soeharto
yang lengser pada Mei 1998 meninggalkan utang Rp 551,4 triliun atau ekuivalen
US$ 68,7 miliar. Saat itu, rasio utang mencapai 57,7 persen terhadap PDB.
Pemerintahan
selanjutnya yang dipimpin BJ Habibie (1998-1999). Di periode 1999, total
outstanding utang Indonesia mencapai Rp 938,8 triliun atau setara dengan US$
132,2 miliar. Rasio utang membengkak jadi 85,4 persen dari PDB.
Tampuk kepemimpinan
berikutnya beralih ke tangan Gus Dur (1999-2001). Nilai utang pemerintah
membumbung tinggi di periode 2000 menjadi Rp 1.232,8 triliun, namun dalam
denominasi dolar AS, jumlahnya turun menjadi US$ 129,3 miliar. Ketika itu,
rasio utang makin parah menjadi 88,7 persen.
Kemudian di 2001, rasio
utang turun menjadi 77,2 persen. Hanya saja, nilai outstanding utang naik tipis
menjadi Rp 1.271,4 triliun atau US$ 122,3 miliar.
Megawati Soekarnoputri
(2001-2004). Pada era pemerintahan anak dari Presiden ke-1 Soekarno itu, posisi
utang Indonesia dan rasio utang terhadap PDB, meliputi:
2002: Rp 1.223,7
triliun atau US$ 136,9 miliar, rasio utang 67,2 persen
2003: Rp 1.230,6
triliun atau US$ 145,4 miliar dan rasio utang 61,1 persen
2004: Rp 1.298 triliun
atau US$ 139,7 miliar, rasio utang 56,5 persen.
Kemudian tampuk
kekuasaan turun ke presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). yang berkuasa
selama dua periode, yakni periode I (2004-2009) dan periode II (2009-2014).
Di masa pemerintahan
SBY, rasio utang dan nilai utang Indonesia mencapai:
2005: Rp 1.311,7
triliun atau US$ 133,4 miliar, rasio utang 47,3 persen
2006: Rp 1.302,2
triliun atau US$ 144,4 miliar dengan rasio utang 39 persen
2007: Rp 1.389,4
triliun atau Rp 147,5 miliar, rasio utang 35,2 persen
2008: Rp 1.636,7
triliun atau Rp 149,5 miliar, rasio utang 33 persen
2009: Rp 1.590,7
triliun atau US$ 169,2 miliar, rasio utang 28,3 persen
2010: Rp 1.681,7
triliun atau US$ 187 miliar, rasio utang 24,5 persen
2011: Rp 1.809 triliun
atau US$ 199,5 miliar, rasio utang 23,1 persen
2012: Rp 1.977,7
triliun atau US$ 204,5 miliar, rasio utang 23 persen
2013: Rp 2.375,5
triliun atau US$ 194,9 miliar, rasio utang 24,9 persen
2014: Rp 2.608,8
triliun atau US$ 209,7 miliar, rasio utang 24,7 persen.
Melalui pemilihan umum
(pemilu) berikutnya, Jokowi naik tahta sebagai Presiden ke-7 (2014-2019)
menggantikan SBY.
Di akhir 2015, utang
pemerintah pusat naik menjadi Rp 3.165,2 triliun atau US$ 229,44 miliar. Rasio
utang terhadap PDB meningkat menjadi 27,4 persen.
Total outstanding utang
pemerintah sepanjang 2016 tercatat naik lagi menjadi Rp 3.466,9 triliun atau
setara dengan US$ 258,04 miliar. Rasio utang 27,5 persen dari PDB.
Dan hingga akhir Mei
2017 lalu, jumlah total utang luar negeri Indonesia mencapai Rp 3.672,33
triliun.
Jumlah utang luar
negeri RI meningkat hingga Rp 1.067,4 triliun sejak awal pemerintahan Presiden
Joko Widodo (Jokowi) pada 2014 hingga Mei 2017.
Menurut informasi dari
Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kemenkeu,
beberapa utang jatuh tempo dalam periode dua tahun ke depan, yani 2018 dan
2019.
Dalam rincian DJPPR,
pada 2018 utang jatuh tempo mencapai Rp 390 triliun dan pada tahun 2019 sekitar
Rp 420 triliun, (Kompas).
Permasalahan utang luar
negeri memang tidak pernah ada habisnya, kadang ada naik dan turun, tapi tidak
pernah ada solusi tuntas. Dengan begitu pergantian presiden tidak cukup ampuh untuk
menangani permasalahan, karena memang ini adalah permasalahan yang diturunkan
secara turun temurun.
Hanya pemimpin yang
beranilah yang akan mampu menyelesaikan problema ini, yaitu presiden yang
berani untuk memutus kepemilikan tambang-tambang yang dikuasai oleh asing,lalu
kemudian mengelolanya secara mandiri. Bahkan menurut Prof Pahmi Amhar, dengan
satu tambang Freeport saja Indonesia sudah bisa menjadi Negara super power.
Namun adakah presiden
yang berani seperti itu, karena setiap presiden pun memiliki beban untuk
membayar bantuan tangan korporasi yang membiayai saat kampanye. Hingga tidak
heran kebijakan yang dibuat untuk kepentingan para korporat, pemimpin negeri
ini hanya jadi boneka para asing.
Maka dari situ sampai
kapanpun, berganti pemimpin negeri tidak akan mampu untuk terlepas dari
cengkaraman asing.
Persoalan ini, bukan
presiden yang bagaimana yang bisa membawa ke arah lebih baik, namun juga
persoalan sistem yang dianut oleh negeri ini, yaitu demokrasi. Yang lahir dari
sekulerisme, maka mau tidak mau jika ingin problem ini terselesaikan secara
tuntas, ganti sistem ganti presiden.
Menuntut Solusi Tuntas
Memang benar problem
ini menuntut untuk segera diselesaikan secara tuntas, namun solusi seperti apa
yang bisa menuntaskan semua problem ini.
Sebelum memberikan
solusi tuntas, perlu diketahui terlebih dahulu apa yang menjadi pokok dari
semua carut marut ini, karena dengan mengetahui pokok permasalah inilah, kita
akan mampu untuk memberikan solusi.
Semua problem yang
tampak merupakan problem cabang dari masalah pokok, ibarat bangunan ketika pondasinya
miring, lantas yang diubah bukan pondasinya malah mengubah bangunan yang ada
diatasnya. Tentu hal ini tidak akan pernah selesai malah menambah masalah baru.
Begitu juga dalam
sebuah negara jika bukan permasalahan pokonya yang diubah maka akan sama saja,
sampai kapanpun negara tersebut akan berada dalam masalah. Mau tidak mau harus
pondasinya yang diubah.
Jika kita lihat problem
pokok dari problem cabang adalah diberlakukannya sekulerisme dinegeri ini. Maka
jangan heran selama masih menggunakan sekularisme, berganti presiden sampai
seratuskalipun tidak akan menyelesaikan masalah.
Sekulerisme adalah isme
yang lahir dari kekacauan Eropa Barat akibat kontrol gereja yang sewenang-wenang
terhadap masyarakat, hingga akhirnya memunculkan para negarawan untuk memberi
solusi terhadap permasalah tersebut. Maka lahirlah sekulerisme, yaitu isme yang
memisahkan agama dalam kehidupan.
Problem cabang pun
bermuculan akibat diterapkannya sekularime, seperti politik oportunistik,
ekonomi kapitalistik, pendidikan materialistik, budaya hedonistik dan
cabang-cabang permasalahan lainya.
Maka bagi kita, tidak
mungkin lagi menggunakan sekularisme itu sendiri untuk menyelesaikan berbagai
masalah dalam negeri. Karena sekularisme sudah terbukti biang dari semua
permasalahan cabang yang kita rasakan.
Olehnya itu tersisa dua
kemungkinan, yang bisa menyelesaikan persoalan ini, yaitu solusi Sosialis-Komunis
dan solusi dari Islam, solusi dari kedua ideologi inilah yang bisa kita
berharap padanya, tidak ada yang ketiga. Karena di dunia ini cuma ada tiga
solusi, yaitu Islam, sosialis dan sekularis, namun sekularis telah kita
diskualifikasi, maka tidak lagi berharap padanya.
Mari kita lihat solusi
apa yang bisa ditawarkan oleh sosialis, mampukah sosialis memberikan solusi
tuntas atas semua permasalahan ini.
Sosialis adalah isme
yang lahir di atas pondasi ketidakyakianan adanya Tuhan, bahwa manusia, alam
semesta, dan kehidupan lahir dari materialisme (ada dengan sendirinya). Maka
solusi kesejarteraan dalam sebuah negara adalah materialisme itu sendiri,
bagaimana mengelola materi demi kepentingan bersama, yaitu sama rasa sama rata,
titik puncak dari sosialis adalah komunis.
Namun jika kita kaji,
baik sosialis ataupun sekularis, memiliki kesamaan keduanya. Sosialis
menganggap bahwa Tuhan itu tidak ada maka manusialah yang memiliki kekuasaan
didunia, olehnya itu bagi sosialis-komunis tidak ada hari akhir.
Sedang sekularisme
menganggap bahwa Tuhan itu ada dan mengakui bahwa Tuhan lah yang menciptakan
manusia, alam semesta, dan kehidupan. Namun Tuhan sudah mati, terkenal dengan
slogan "Tuhan telah mati". Sebabnya itu manusialah yang memiliki
kuasa atas dunia, dan menganggap setelah mati tidak ada hari pembalasan.
Jadi sekularis ataupun
sosialis komunis sama saja, yaitu meminggirkan peran Tuhan atas kepengurusan
dunia, dengan kata lain sosialis pun sudah pasti sama saja dengan sekularisme.
Maka tinggal satu
kemungkinan yaitu solusi Islam, bagaimana Islam memandang dunia. Dalam Islam
alam semesta, manusia, dan kehidupan adalah ciptaan Sang Kholiq, Dia-lah yang
paling tahu tentang ketiganya.
Solusi Islam adalah
mengembalikan kepada zat yang maha tahu atas segalanya, yaitu Allah SWT. Dengan
mengembalikan seluruh aturan kehidupan kepada Al-Quran dan As-sunah, baik
politiknya, ekonominya, budaya, sosial, pendidikan dan sebagainya, karena islam
memiliki aturan terhadap itu semua.[]
Penulis: Fajar, Mahasiswa Hukum Universitas Widya Mataram. Dan juga tergabung di komunitas menulis Bintang Inspirasi.
Posting Komentar untuk "Mencari Solusi Terbaik untuk Permasalahan Negara"