Perampasan Ruang Hidup oleh PT. Adidaya Tangguh, Potret Bobroknya Sistem Kapitalisme
Klickberita.com
– Akhir-akhir
ini perampasan tanah terus merajai negeri ini,
ibarat parasit yang akan terus
menyebar dan memberi penyakit tentunya sampai mengakibatkan kematian. Analogi yang pas bagi negeri ini, yang
makin hari semakin menjadi-jadi.
Sebuah
negeri yang terlalu mengagunggkan investasi atas
nama peningkatan ekonomi, inilah cikal bakal berbagai investasi masuk lewat
pintu negara dan kekuasaan.
Berbagai
jenis investasi diluncurkan dan bahkan para investor asing terus berbondong-bondong
masuk ke Indonesia
demi mencapai keuntungan dengan cara menginvestasikan apa yang mereka punya.
Dari investor di bidang pertambangan hingga industri dan lainnya.
Salah satunya adalah perusahaan tambang, begitu banyak tersebar di berbagai daerah Indonesia, mulai tambang emas, timah, biji besi, uranium, dan lain-lain.
Kabupaten
Pulau Taliabu adalah salah satu kabupaten di Provinsi
Maluku Utara. Pulau Taliabu merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Kepulauan
Sula yang disahkan dalam sidang paripurna DPR RI pada 14 Desember 2012. Ibukota
nya Bobong. Luas wilayahnya 15.078,05 km²
dengan jumlah penduduk 56.135 jiwa. (Peta
Kota)
Ialah salah
satu daerah yang menjadi sasaran investasi, di kabupaten pulau Taliabu ada sejumlah perusahaan tambang yaitu PT. Adidaya
Tangguh, yang merupakan perusahaan kurang lebih telah beroperasi di
kabupaten pulau Taliabu terhitung sekitar 11 tahun. Perusahaan tersebut beroperasi dalam bidang
explorasi biji besi.
PT.
Adidaya Tangguh merupakan
anak perusahaan dari SALIM
GROUP yang berpusat di Jakarta. PT. Adidaya Tangguh masuk di Kabupaten Pulau Taliabu terhitung dari tahun 2007, yang saat itu kabupaten Pulau Taliabu masih dalam keadan
belum otonom.
Sehingga
bernaung di Kabupaten Kepulauan Sula, yang waktu itu di pimpin oleh Bupati Ahmad Hidayat Mus. Inilah awal masuk PT.Adidaya Tangguh
di Pulau Taliabu, waktu itu izin perusahaan masih di pegang oleh bupati.
Ahmad
Hidayat Mus adalah bupati kepulauan sula sejak tahun 2005 hingga 2015 dikarenakan
ia menjabat kurang lebih dua periode lamannya. Saat menjabat menjadi bupati
Kepulauan Sula, bupati yang sering di sapa AHM itu yang memberikan ijin PT.
Adidaya Pangguh masuk di Pulau Taliabu yaitu sejak tahun 2007.
Pada
tahun 2007, PT. Adidaya tangguh sendiri belum punya izin secara resmi, namun
telah melakukan survei yang bertepatan di Desa Todoli, Kecamatan Lede, Kabupaten Pulau Taliabu.
Awal masuknya adalah melalui salah satu perusahaan kayu yang biasa disebut TLT.
Setelah
izin perusahaan kayu tersebut telah habis dan keluar dari Desa
Todoli, masyarakat mulai kebinggungan ternyata masih ada perusahaan yang
beroperasi di atas Desa Todoli. Saat diselidiki oleh beberapa masyarakat Desa Todoli
waktu itu memang telah ada perusahaan yang beroperasi di atas gunung Desa
Todoli dan Desa Tolong Kecamatan Lede.
Di sana terdapat salah satu perusahaan tambang yang telah
beroperasi yang menjadi cikal bakal PT, Adidaya Tangguh di pulau taliabu.
Sebelumnya, memang pernah disampaikan kepada masyarkat bahwa di Desa Todoli ada perusahaan tambang yang akan masuk, yang disampaikan
oleh almarhum Kepala Desa Todoli Nilet Tamimi dan Bupati
Kepulauan Sula Ahmad Hidayat Mus. Namun saat
itu banyak masyarakat yang tidak setuju dengan masuknya perusahaan di desa Todoli Kecamatan Lede.
Sebab
masyarakat di sana adalah mayoritas masyarkat tani, sehingga dikhawatirkan dapat
memberikan dampak buruk bagi tanaman masyarakat. Tapi penolakan itu ibarat nyanyian yang tidak perlu didengarkan
oleh penguasa waktu itu, dan akhirnya perusahaanpun terus berlanjut dengan
explorasinya.
Berjalan
hingga tahun 2009 perkebunan masyarakat di Desa Todoli dan Desa Tolong yang
bertepatan di area sungai Fangu dan
sungai Samada mulai terkena dampak air larian yang mengakibatkan
rusaknya tanaman warga. Tanaman warga tersebut beragam, ada cacao, kelapa, pala, durian, lansat, dan juga tanaman produktif lainnya.
Hingga
saat itu tanaman warga sudah tidak lagi menghasilkan, karna tergenang oleh
lumpur dari air larian yang merambat ke perkebunan warga yang berada di Sungai Fangu, juga Sungai Samada.
Tahun
2012 terjadi air larian di perkebunan warga Desa Todoli ,Kecamtan Lede, khususnya di Air
Pala, Air Tiung dan Air Parang. Yang juga
membuat masyarakat gagal panen.
Juga
beberapa lahan masyarakat yang digusur secara paksa oleh perusahaan PT. Adidaya
Tangguh pada tahun 2009, yaitu perkebunan salah satu masyarakat Desa Todoli atas nama Laumara (50-an)
dan juga beberapa perkebunan warga Desa Tolong.
Sehingga
masyarkat mengadakan perlawanan hingga menghasilkan penangkapan beberapa warga
oleh aparat kepolisian Polsek Bobong. Walaupun akhirnya dibebaskan. Namun telah ditahan
selama beberapa hari, padahal mereka hanya menuntut hak mereka sebagai warga
negara untuk melindungi kebun mereka yang telah dirampas paksa.
PT. Adidaya tangguh sendiri dari awal telah masuk ke Kabupaten Pulau
Taliabu tanpa persetujuan dari masyarakat,
sebab sosialisasi tidak jelas pada masyarakat, hingga masyarakat menolak. Hanya saja perusahaan tetap berlanjut tanpa sosialisasi yang
jelas.
Dari tahun 2007 telah
masuk di kabupaten pulau taliabu sampai tahun 2010 baru keluar izinnya. Anehnya
sejak tahun 2012 baru keluar AMDAL dari PT. Adidaya Tangguh
itu sendiri yang sejatinya telah cacat prosedural. Seharusnya
AMDAL disosialisasikan dulu kepada masyarakat, setelah
itu barulah bisa beroperasi.
Yang terlihat malah sebaliknya izin
dulu baru AMDAL. Sampai saat ini AMDAL itupun tidak pernah
disosialisasikan kepada masyarakat, sehingga masyarakat tidak tahu
sama sekali terkait isi dari AMDAL tersebut.
Baca juga:
Mencari Solusi Terbaik untuk Permasalahan Negara
Kenapa Jokowi Lebih Mengutamakan Pembangunan daripada Pendidikan?
Filosofi Saya Update, Maka Saya Ada
Keberadaan PT. Adidaya Tangguh di Taliabu
dari awal memang sudah tidak jelas dan sampai hari ini malah membuat keresahan
di tengah tengah masyarakat. Bagaimana
tidak tanaman produktif milik masyarakat sudah tidak menghasilkan lagi.
Dan ini tentunya membunuh ekonomi
masyarakat yang notabenenya adalah masyarkat tani.
Belum lagi PT.
Adidaya Tangguh sendiri enggan membayar ganti rugi lahan masyarakat yang telah
terkena dampak air larian akibat operasi perusahaan. Pemerintah juga terkesan
mendiamkan dan juga membiarkan,
sebab masyarakat sudah sering kali mengadu kepada
pemerintah setempat.
Tapi terkesan masyarakat tidak diberi
kejelasan, apalagi alasan pihak PT. Adidaya
Tangguh sendiri yang selalu beralasan warga harus berhubungan dengan bupati,
padahal pemerintah hanya sebatas memediasi bukan mengintervensi.
Penggusuran paksa pun
terus terjadi hingga tahun 2016, yang menyasar perkebunan cengkeh masyarakat
yang digusur tanpa sepengetahuan pemilik lahan. Pihak perusahaan selalu
beralasan ini tanah milik negara, dan ketika masyarakat melawan,
maka dikatakan “kalian harus berhubungan
dengan bupati, ini perintah bupati”.
Tentunya cukup aneh, padahal yang punya
lahan adalah masyarakat bukan pemerintah. Juga kata tanah milik negera yang
ambigu, memangnya negera itu apa,
sih? Bukankah negera itu untuk rakyat? Sangat
menggelikan. Apalagi kita ketahui bersama bahwa izin
perusahaan telah diserahkan kepada provinsi,
tepatnya di tangan gubernur. Lalu apa urusannya dengan bupati.
Inilah yang menjadi kecurigaan warga, bukankah Bupati hanya bisa mediasi,
bukan malah mengatur segalanya.
Pada tahun 2016
juga terjadi perlawanan besar-besaran untuk meminta perusahaan PT.
Adidaya Tangguh angkat kaki dari Taliabu, sebab
keberadaannya sangat merugikan masyarakat. Baik secara ekonomi maupun
ekosistem. Misalnya tercemarnya air Fangu sehingga tidak bisa lagi di konsumsi
masyarakat.
Namun perlawanan oleh masyarakat Taliabu yang
mencintai tanah dan menjaga ruang hidup mereka malah berujung kriminalisasi
oleh aparat Kepolisian Resort Sula,
AKBP-nya Deden Supriatna. Tindakan kekerasan pun
juga terjadi kepada masyarakat yang menuntut haknya.
Pasalnya hingga saat ini lahan masyarakat yang
terkena dampak maupun penggusuran paksa belum terselesaikan ganti ruginya. Dan masyarakat
terkesan putus asa dengan ketidak pastian hidup mereka di tanah sendiri.
Sementara
pemerintah pun mendiami, baik Bupati Pulau Taliabu Aliong Mus,
maupun Gubernur Maluku Utara H.Abdul Gani
Kasuba, padahal kepada siapa lagi rakyat berharap?
Mungkinkah Bapak Presiden
Joko Widodo masih peduli dengan masyarakat
tani yang tertindas?
Padahal itu
adalah ruang hidup masyarakat tani, namun telah dirampas denga keji atas nama
infrastruktur dan insvestasi yang meminggirkan warga. Sejatinya tugas negara adalah memakmurkan rakyatnya,
melindungi segenap bangsa dan seluruh
tumpah darah, juga untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan
kehidupan bangsa.
Namun
72 tahun sudah Republik ini dibentuk, tanpa ada sedikipun amanat rakyat yang
dicapai secara signifikan oleh penyelenggara Negara, yakni Pemerintah.
Potret di atas menunjukan ketidak jelasan investasi asing atas nama
kesejahteraan. lantas siapakah yang disejahterakan? Tentunya hanya segelintir
orang, yaitu pengusaha
dan penguasa. Padahal sumber daya alam seharusnya dikelola
oleh negera dan di berikan pada rakyat demi kesejahteraan.
Namun itu hanya ibarat slogan ”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. UUD 1945 Pasal 33 (3).”
Faktanya semua di serahkan kepada pihak asing dan aseng, yang sesungguhnya telah merampas hak rakyat.
Tentu persoalan semacam ini ada ribuan di negeri
Indonesia yang katanya telah merdeka, padahal masih terjajah secara ekonomi,
politik, juga budaya.
Dalam Islam sumber daya alam adalah menjadi kepemilikan umum yang dikelola oleh negara dan dikembalikan kepada rakyat. Tentunya akan menyejahterakan. Sedangkan
dalam sistem kapitalisme semua bisa dikuasai oleh segelintir orang lewat
konspirasi pengusaha dan penguasa.
Padahal Rosul terlah Bersabda: “Kaum Muslim
berserikat dalam tiga hal, api, air, juga padang rumput. (HR. Ibnu majah)
Api di ibaratkan adalah minyak, air adalah
sungai, dan sumber air lainy, sedangkan
padang rumput adalah hutan dan tambang.
Semoga pemimpin negeri ini lekas sadar, dan
mengelolah negeri yang subur dengan kecerdasan sehingga menghasilkan
kemakmuran. []
Penulis: Faisal Sahlan, mahasiswa hukum
Universitas Widya Mataram Yogyakarta, dan aktif di komunitas menulis Bintang
Inspirasi.
Mantap
BalasHapus