Negara, Yogyakarta, dan Reformasi Jitu Wei Yang
Menjadi suatu negara yang kuat dan berdaulat adalah impian setiap negara. Dari berbagai sistem ideologi negara pun sepakat untuk memperjuangkan negara digdaya, entah itu negara kapitalisme ataupun sosialisme. Berhasil atau tidaknya suatu negara, pimpinan negara tertinggi menjadi faktor utamanya. Beberapa negara yang sempat bubar menjadi evaluasi negara lainnya untuk mewanti-wanti.
Indonesia salah satu negara yang sempat bergejolak sampai dua kali, tahun 1965 dan tahun 1998. Hasil dari reformasi 1998, ternyata belum mampu mengantarkan bangsa ini seperti yang dicita-citakan oleh para founding father kita. Kebijakan untuk kepentingan pemodal masih menghantui rakyat kecil. Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN) tetap berbudaya di lingkungan pemerintahan. Seolah seperti urat nadi dalam darah bangsa kita, KKN mendarah daging. Akibatnya, lagi-lagi rakyat kecil yang menjadi korban pertama dari kecurangan-kecurangan tersebut.
Mempelajari dan memahami sejarah adalah salah satu refrensi cara pandang bangsa untuk menata rencana negara di masa yang akan datang. Sudah diketahui secara umum, sebelum adanya negara modern, setiap wilayah di penjuru dunia memerintahkan rakyatnya dengan sistem kerajaan.
Di Jawa sendiri misalnya, mulai dari Kerajaan Medang sampai Kesultanan Yogyakarta. Yogyakarta merupakan pecahan dari Kasunanan Surakarta, yang saat ini berada di Solo. Hanya Yogyakarta pula yang masih berjaya, jika dibandingkan dengan kerajaan-kerajaan lainnya di Indonesia yang telah punah. Bertahannya Kesultanan Yogyakarta di negara Indonesia karena mendapatkan undang-undang keistimewaan, Sultan Yogyakarta sekaligus menjabat menjadi gubernur seumur hidup. Begitu juga dengan Wakil Gubernur Yogyakarta yang dijabat oleh Paku Alam.
Dari Buku Qin, Kaisar Terakota, karangan Michael Wicaksono mengisahkan seorang petinggi Qin, namanya adalah Wei Yang. Wei Yang merupakan menteri istana untuk menangani masalah-masalah reformasi di masa Adipati Xiao dari Kerajaaan Qin. Dia diangkat Adipati Xiao karena kecerdasan ide reformasinya. Pada masa itu Negeri Qin pada posisi stagnan, sementara negeri lain semakin kuat karena reformasi pemerintahan.
Hanya dengan hukum, semua keteraturan dan harmoni dalam dunia bisa tercapai. Apabila hukum dengan jelas dan adil mmengatur segala hal, serta semua orang di dalam negeri tunduk kepada hukum, keadilan akan tercapai dan masyarakat akan hidup tenang dan damai. Dalam “Pengembangan Kekuasaan”, Wei Yang mengatakan:
“Jika penguasa dan pejabat mengabaikan hukum dan mementingkan kepentingan pribadi, kekacauan pasti akan terjadi; oleh karenanya jika kejelasan hukum ditegakkan dan kepentingan pribadi tidak dapat merusak hukum, pemerintah akan berjalan baik.”
Namun Wei Yang menyadari bahwa ketidakjelasan hukum hanya akan merugikan, dan membuat pihak-pihak yang hendak mencari keuntungan akan memanfaatkan setiap celah dalam hukum demi kepentingan pribadi mereka. Ia mengatakan:
“Jika mereka yang memerintah dunia mengabaikan hukum dan mengikuti kepentingan pribadinya, negara sudah pasti akan jatuh dalam kekacauan. Raja-raja zaman dahulu menetapkan aturan yang pasti mengenai timbangan dan panjang, dan aturan mereka masih dipakai sampai sekarang karena adanya kejelasan. Namun jika seseorang mengapus standar timbangan dan menentukan berat-ringan sebuah barang, atau membuang ukuran panjang dan menentukan panjang-pendeknya sebuah benda, bahkan pedagang paling cerdas pun tidak akan memahaminya, karena tidak adanya penjelasan.”
Pentingnya ketegasan dan kejelasan hukum sangat dijunjung tinggi oleh Wei Yang, di mana imbalan dan hukuman merupakan pilar-pilar penyangganya. Untuk menjamin bahwa hukum dipatuhi dan aturan ditegakkan, Wei yang mengemukakan pentingnya melakukan tiga hal:
Pertama, hukum harus memiliki kredibilitas di tengah-tengah rakyat. Dengan kata lain, rakyat harus memiiliki kepercayaan terhadap sistem hukum. Apabila hukum ditegakkan setengah-tengah dan para penguasa tidak menunjukkan kesungguhan untuk menjalankan dan mematuhi peraturan, rakyat tidak akan memiliki kepercayaan hukum, dan dengan demikian hukum tidak akan dipatuhi secara maksimal.
Kedua, aturan-aturan dalam sistem hukum haruslah jelas dan mudah dipahami. Penggunaan bahasa yang rumit dan tidak mudah dipahami hanya akan membuat kebingungan. Apabila aturan dijabarkan dengan jelas, dan sistem imbalan-hukuman mudah dicerna oleh pikiran rakyat yang sederhana, rakyat akan mengetahui apa-apa saja yang dianjurkan, diperbolehkan, dan dilarang, sehingga hukum akan dipatuhi.
Ketiga, negara harus memiliki kekuasaan kehakiman dengan pengadil-pengadil yang jelas dan bertanggungjawab.
Reformasi yang pertama dijalankan oleh Wei Yang pada tahun ke-dua Pemerintahan Adipati Xiao (359 SM) sebagai berikut:
Pertama, menekankan pada pentingnya pertanian dan melarang aktivitas perdagangan yang ia anggap hanya sebagai aktivitas ekonomi yang merugikan karena membuat harga-harga menjadi mahal, dan di sisi lain membuat orang orang bermalas-malasan karena semata-mata mengambil untung besar tanpa ada kerja keras.
“Jangan menjual beras ke pedagang… jika pedagang tidak bisa membeli beras, maka mereka tidak akan punya tahun-tahun kemakmuran. Jika tahun-tahun kemakmuran tidak ada, mereka tidak bisa mencari keuntungan di tahun-tahun kelaparan. Jika tidak dapat mendapatkan keuntungan, maka mereka akan meninggalkan kegiatan perdagangan, dan beralih kepada usaha pertanian…”
Kedua, mengingat besarnya pengaruh keluarga pada rakyat Qin dan infektivitasnya yang terjadi akibat begitu besarnya jumlah anggota keluarga yang berkumpul, Wei Yang memerintahkan pengurangan jumlah keluarga dengan memaksa mereka untuk berpencar ke penjuru negeri. Mengikuti model divisi kekuatan militer, Wei Yang membagi keluarga-keluarga berdasarkan sistem “Lima dan Sepuluh”. Dengan mendorong populasi Qin yang besar untuk menyebar secara merata, tanah-tanah kosong bisa digarap dan menghasilkan bahan makanan. Selain itu, Wei Yang yakin bahwa selama rakyat diiming-imingi dengan mendapatkan lahan garapan, rakyat dari manapun akan dengan sukarela pindah ke Qin.
“Melihat kehendak hati rakyat, yang mereka inginkan adalah tanah garapan dan rumah. Jika sekarang mereka diuntungkan dengan tanah garapan dan rumah, serta dibebaskan dari pajak selama tiga generasi, ini berarti memberikan apa yang mereka suka. Maka mereka yang berasal dari timur akan dengan sukarela berpindah ke barat.”
Keetiga, penerapan meritokrasi di kalangan militer. Selama ini, untuk mendapatkan kenaikan jabatan di dalam militer, seorang bawahan harus bermanis muka dan memberikan hadiah kepada atasannya. Wei Yang menghapus kebiasaan ini, dan memerintahkan bahwa hanya mereka yang berjasa di medaan pertempuran akan mendapatkan kenaikan pangkat sesuai kbesarnya jasa mereka masing-masing. [Klickberita.com/Asmara Dewo]
Posting Komentar untuk "Negara, Yogyakarta, dan Reformasi Jitu Wei Yang"