Mengalami Kekerasan Seksual, 7 Hal Ini yang Harus Diperhatikan
Ilustrasi korban kekerasan seksual | Foto Rodnae Productions/Pexel.com |
Klickberita.com-Kekerasan seksual yang terjadi belakangan ini memang mengejutkan publik. Karena pelaku kekerasan seksual adalah orang yang dianggap baik, orang suci, dan juga pendidik. Namun siapa sangka di balik topengnya itu semua, dia adalah predator seksual yang sangat berbahaya.
Perlakuan seperti ini tidak bisa dimaafkan begitu saja, harus ada penegakan hukum yang tegas. Agar ada efek jera bagi pelaku, dan juga ancaman bagi yang lainnya.
Kami menyimpulkan atas pengalaman pengadvokasian, setidaknya ada tujuh hal yang meski teman-teman pahami terkait kekerasan seksual. Karena kekerasan seksual bisa terjadi terhadap siapa saja, bahkan rentan terhadap anak-anak, dan pelakunya orang terdekat.
1. Memahami Kekerasan Seksual
Ilustrasi kekerasan seksual | Foto Karolina Grabowska/Pexels.com |
Kekerasan seksual dibagi delapan berdasarkan Pasal 4 ayat 1 Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU PKS), yaitu a. pelecehan seksual secara nonfisik; b. pelecehan seksual secara fisik; c. pemaksaan kontrasepsi; d. pemaksaan sterilisasi; e. pemaksaan perkawinan; f. penyiksaan seksual; g. eksploitasi seksual; h. perbudakan seksual; h. kekerasan seksual berbasis elektronik.
Mengutip Detik.com, Komisioner Subkom Pemantauan Komnas Perempuan, Siti Aminah menyebutkan kekerasan seksual adalah perbuatan yang dilakukan dalam bentuk fisik atau nonfisik yang tidak dikehendaki dengan cara mengambil gambar, mengintip, memberikan isyarat bermuatan seksual, meminta seseorang melakukan perbuatan yang demikian pada dirinya, memperlihatkan organ seksual baik secara langsung atau menggunakan teknologi, melakukan transmisi yang bermuatan seksual dan melakukan sentuhan fisik.
Akhir-akhir ini kasus kekerasan seksual memang menyorot perhatian publik. Karena kekerasan seksual terjadi di dunia pendidikan, seperti guru atau ustadz yang mencabuli siswinya. Atau dosen yang melakukan pelecehan seksual terhadap mahasiswinya. Biasanya penyintas (korban) saat terjadi pelecehan seksual saat dalam proses bimbingan skripsi. Pelecehan seksual seperti menyentuh atau membelai hal-hal organ intim penyintas. Selain itu bisa juga dengan canda-canda cabul, seperti “Maaf saya belum bisa buka kolor, eh, laptop. Kamu yang sabar, ya. Masih, tahan, kan?”
Selain itu kasus kekerasan seksual yang banyak terjadi adalah saat sedang bucin (budak cinta) terhadap seseorang. Pelaku memanfaatkan penyintas untuk memuaskan nafsu bejatnya. Motif pelaku biasanya mengajak jalan-jalan ke suatu tempat, dan ternyata dibawa ke penginapan. Di sanalah pelaku memaksa penyintas dijadikan sebagai objek seksualnya.
2. Pelaku Kekerasan Seksual
Ilustasi pelaku kekerasan seksual | Foto Pikiran-Rakyat dari Pixabay/Alexas_Photos |
Mengutip Antaranews, Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Arist Merdeka Sirait mengatakan pelaku kekerasan dilakukan oleh terdekat, seperti ayah kandung, ayah sambung, paman, kakek, bahkan gurunya.
Selanjutnya laporan Komnas Perempuan yang dikutip Tirto.id, kekerasan terhadap perempuan paling tinggi di ranah personal. Artinya, pelaku adalah orang yang memiliki hubungan darah (ayah, kakak, adik, paman, kakek), kekerabatan, perkawinan (suami) maupun relasi intim (pacaran) dengan korban.
Psikolog Anak dan Remaja, Irma Gustian A mengatakan kekerasan seksual pada anak adanya relasi kuasa yang timpang, sebagaimana mengutip detik.com. Superioritas pelaku seringkali membuat korban tak berdaya melawan. Kemudian ada ancaman, karena si anak merasa ini adalah figur otoritasnya korban. Jadi ketika korban diancam oleh orang yang dia kenal, orang dewasa pula, dan mungkin setiap hari dekat dengan korban, ada ketakutan ketika korban dipaksa melakukan apa yang diinginkan pelaku. Korban jadi tidak berdaya.
Orang terdekat yang mestinya melindungi, malah menjadi predator seksual. Kita seakan tak percaya pelaku bisa melakukan hal itu terhadap penyintas. Namun berdasarkan data yang dipaparkan di atas adalah bukti orang terdekat adalah pelaku kekerasan seksual. Orang terdekat itu yang biasa sangat dihormati, kharismatik, baik, dan hal positif lainnya bisa menjadi pelaku kekerasan seksual.
Kesulitan dalam pengadvokasian kasus kekerasan seksual ini, ya, karena pelakunya adalah orang terdekat. Banyak kasus yang tidak sampai ke ranah pidana, biasanya mereka berdamai. Tak jarang pula karena pelaku adalah pacar, maka penyelesaian kasus itu berakhir dengan pelaminan, karena penyintas sudah hamil. Suatu hal kontradiktif jika ingin membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah, dan warohmah, jika perkawinan itu ada unsur “keterpaksaan karena kondisi”.
Tidak ada istilah perdamaian dalam kekerasan seksual dipertegas dalam Pasal 23 UU PKS “Perkara Tindak Pidana Kekerasan Seksual tidak dapat dilakukan penyelesaian di luar proses peradilan, kecuali terhadap pelaku anak sebagaimana diatur dalam undang-undang.”
3. Menjadi Korban Kekerasan Seksual
Ilustrasi korban kekerasan seksual | Foto Maxime Caron dari Unsplash.com |
Ada kisah nyata kasus pelecehan seksual yang terjadi di Manado sepekan lalu. Kejadian pelecehan seksual ketika penyintas naik taksi online. Dalam perjalanan pengemudi menggoda dengan bahasa yang tak senonoh terhadap penyintas. Tangan pelaku juga mencoba menggerayangi paha penyintas yang saat itu kebetulan memakai rok pendek.
Salah satu di antara penyintas yang cukup tenang menghadapi kekerasan seksual. Padahal bisa saja si pelaku mengancam dengan senjata tajam lalu membawa penyintas ke arah sepi. Namun, penyintas tenang, tampak tersenyum, dan memvideokan aksi bejat pelaku. Akhir cerita, pelaku dilaporkan ke Polresata Manado, beberapa jam kemudian pelaku digelandang dan menangis menyesal atas perbuatannya.
Nah, jika sudah terjadi hubungan intim, layaknya pasangan suami-istri. Penyintas sebaiknya melaporkan kejadian itu pada orang terdekat yang bisa dipercaya. Penyintas yang didampingi keluarga atau orang terdekat ke rumah sakit untuk melakukan visum et repertum. Selain itu penyintas juga dibawa ke psikolog agar mentalnya bisa pulih kembali. Biasanya penyintas setelah mengalami kekerasan seksual akan syok, banyak melamun, dan merasa sudah tidak berguna lagi.
Keluarga atau orang terdekat harus benar-benar memahami penyintas. Buat penyintas nyaman, bantu dia apa yang dibutuhkan. Sampai penyintas kembali bisa beraktivitas seperti semula.
4. Mengumpulkan Bukti dan Saksi Kekerasan Seksual
Ilustrasi berbicara pengalaman kekerasan seksual terhadap orang lain| Foto Mart Production |
Alat Bukti adalah untuk membuktikan pelaku yang telah melakukan kekerasan seksual. Dengan alat bukti itu pula, penyidik bisa menindaklanjuti proses hukum tersebut. Hal yang sering terjadi adalah penyidik kekurangan alat bukti, tak jarang pula sampai di pengadilan pelaku kekerasan seksual bisa bebas dari kejahatannya. Karena alat bukti yang tidak cukup, dan hakim tidak mengedepan rasa keadilan yang berpihak pada korban. Hal ini sering terjadi sebelum lahirnya UU PKS.
Jadi bukti itu sangat penting untuk membawa kasus ini ke ranah hukum. Jika kekerasan seksual melalui media elektronik, simpan percakapan itu (bisa di-screenshoot) atau direkam. Bukti seperti penyintas di taksi online Manado tadi juga bukti yang tak terbantahkan, jika pelaku tidak mengakui perbuatan cabulnya.
Nah, jika kekerasan seksual secara fisik, bisa seperti yang sudah disinggung di atas tadi, buat visum et repertum di rumah sakit yang ada dokter forensiknya. Bukti juga bisa dari psikolog klinis, atau dari dokter psikiatri, nanti hasilnya berupa visum et repertum psikiatrikum. Hal itu termaktub dalam Pasal 24 ayat 3 huruf f UU PKS “Surat keterangan psikolog klinis dan/atau psikiatri/dokter spesialis kedokteran jiwa.
Pemeriksaan korban pemerkosaan itu biasanya gratis, sebagaimana hal itu dilakukan RSUP (Rumah Sakit Umum Pusat) Sardjito Yogyakarta.
Dalam kasus kekerasan seksual saksi yang tidak menyaksikan langsung bisa jadi saksi, sebagaimana UU PKS Pasal 1 ayat 6 “Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri. Termasuk pula orang yang dapat memberikan keterangan yang berhubungan dengan suatu perkara Tindak Pidana Kekerasan Seksual, meskipun tidak ia dengar sendiri, tidak ia lihat sendiri, dan tidak ia alami sendiri, sepanjang keterangan orang itu berhubungan dengan Tindak Pidana Kekerasan Seksual.”
Contohnya terjadi pemerkosaan terhadap seorang perempuan, penyintas tersebut bercerita terhadap keluarga atau temannya apa yang dialaminya. Nah, orang yang mendengarkan itu bisa menjadi saksi dalam penyidikan maupun di pengadilan.
5. Minta Pendampingan Hukum
Ilustrasi Advokat | Foto Mikhail Nilov/Pexels.com |
Nah, ini yang cukup penting. Penyintas atau kerabatnya sebaiknya minta pendampingan terhadap Advokat/Pengacara atau Paralegal dari Organisasi Bantuan Hukum (OBH), seperti Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Pusat Bantuan Hukum (PBH) Peradi, atau LBH Apik (Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan).
OBH biasanya dalam menangani kasus kekerasan seksual itu pro bono alias cuma-cuma. Anggota OBH dalam penanganan kasus itu juga mahir, karena sering menangani kasus serupa.
Bisa juga minta pendampingan terhadap Advokat berkantor profit, tapi biasanya berbayar. Namun tidak ada salahnya juga dicoba jika memang di daerah tersebut tidak ada organisasi bantuan hukum. Lagi pula Advokat punya kewajiban untuk memberikan bantuan secara pro bono terhadap kasus-kasus miskin.
Sebagaimana amanah Pasal 22 ayat 1 Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat “Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu.”
Bukan tanpa sebab mengapa harus minta pendampingan hukum, agar penyintas lebih rileks dalam menghadapi permasalahan yang dialaminya. Nasihat Pendamping Hukum semata-semata demi kebaikan penyintas itu sendiri, karena pengalaman berbagai kasus yang ditanganinya.
Terpenting adalah dalam tahap untuk pelaporan ke Polisi, Penasihat Hukum akan berdiskusi dengan kepolisian. Semua itu dilakukan agar penyintas mendapatkan keadilan, dan pelaku bisa diadili sebagaimana hukum berlaku.
Terkadang ada juga pihak kepolisian yang sulit untuk kerjasama dalam kasus-kasus kekerasan seksual seperti ini. Bahkan Polisi dalam memeriksa kasus itu malah menyalahkan penyintas. Seperti menyalahkan kenapa mau diajak pelaku, kenapa berbaju seksi, dan lain sebagainya yang menyudutkan korban.
Nah, peran Advokat di sini bisa meminimalisir hal-hal yang tak diinginkan saat dalam proses pelaporan. Selain itu membantu pihak kepolisian untuk mengumpulkan barang bukti dan menyiapkan saksi-saksi. Juga mengikuti perkembangan kasus itu sudah sampai tahap mana? Atau jangan-jangan kasus itu tidak berjalan. Maka Penasihat Hukum bisa mendorong kasus itu agar terus berlanjut.
Pada intinya Penasihat Hukum adalah orang yang mendampingi penyintas dalam menyelesaikan kasus kekerasan seksual mulai dari tanda tangan Surat Kuasa sampai kasus selesai, yaitu putusan pengadilan.
6. Segera Lapor Polisi
Atas lahirnya UU PKS itu mempermudah proses penyelesaian kasus kekerasan seksual. Oleh sebab itu pula penyintas sudah sepatutnya bersuara atas apa yang dialaminya. Dan tentu saja kasus kekerasan seksual meski diselesaikan di ranah hukum, sampai pada putusan pengadilan. Untuk memulai proses hukum, tentunya penyintas melapor ke Kantor Polisi, bisa di Polres/Polresta atau langsung ke Polisi Daerah (Polda).
Pasal 41 ayat 4 UU PKS “Dalam hal korban menyampaikan laporan langsung melalui kepolisian, kepolisian wajib menerima laporan di ruang pelayanan khusus yang menjamin keamanan dan kerahasiaan korban. Biasanya dalam penyidikan Polisi Wanita (Polwan) yang memeriksa, hal itu agar penyintas lebih leluasa dan tidak malu menceritakan kejadiannya. Dan sesama wanita lebih memahami dibandingkan pria.
Selanjutnya kepolisian juga tidak semena-mena bertanya, atau yang menyudutkan penyintas, sebagaimana Pasal 22 UU PKS “Penyidik, penuntut umum, dan hakim melakukan pemeriksaan terhadap saksi/korban/tersangka/terdakwa dengan tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia, kehormatan, martabat, tanpa intimidasi, dan tidak menjustifikasi kesalahan, tidak melakukan viktimisasi atas cara hidup dan kesusilaan, termasuk pengalaman seksual dengan pertanyaan yang bersifat menjerat atau yang yang menimbulkan trauma bagi korban atau yang tidak berhubungan dengan Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Hal itu juga sesuai sebagaimana janji Kapolri Listyo Sigit untuk Transformasi Polri Presisi seperti dikutip dari Kompas.com, yaitu konsep pemolisian prediktif, responbilitas, dan transparansi berkeadilan. Menurut Sigit, penegakan dengan pendekatan pemolisian prediktif akan membangun kejelasan permasalahan keamanan yang menciptakan keteraturan sosial di tengah masyarakat.
Sementara itu, responbilitas dimaknai sebagai rasa tanggung jawab yang diwujudkan dalam ucapan, sikap, perilaku, dan tanggung jawab dalam menjalankan tugas. Untuk transparansi berkeadilan merupakan realisasi dari prinsip, cara berpikir, dan sistem yang terbuka, akuntabel, dan humanis.
7. Ikuti Proses Hukum
Pengadilan Negeri Manado | Foto Rahadih Gedoan/zonautara.com |
Setelah membuat laporan, tunggu dan ikuti proses hukum. Percayakan kasus itu ditangani dengan sebaik-baiknya oleh kepolisian. Karena memang tugas polisi, kalau tidak berharap dengan institusi Polri lalu dengan siapa lagi? Dengan TNI, Ormas, atau siapa? Kan, tidak begitu. Harus husnudzan terhadap penegak hukum.
Meski begitu korban bertanya terus terhadap perkembangan kasus, sejauh mana progresnya. Terkadang memang harus diingatkan, mengingat begitu banyaknya kasus kriminal lain yang ditangani. Selain itu meski aktif saat polisi mengundang, hadiri saja. Mungkin butuh informasi tambahan atau terkait bukti dan saksi. Yang pada intinya selalu bekerjasama dengan baik terhadap polisi.
Nah, jika kasus itu sudah dilimpahkan ke Pengadilan Negeri. Bersiap-siaplah menjadi saksi korban di depan hakim. Berbicaralah sebagaimana kejadian sebenar-benarnya. Tetaplah tenang dan kuat dalam menyampaikan informasi, karena Penasihat Hukum dari terdakwa tentu akan mencecar berbagai pertanyaan terhadap penyintas.
Pahami kondisi diri dan tidak perlu memaksakan diri, lebih baik juga selalu konsultasi dengan Psikolog agar lebih tenang dalam mengikuti proses hukum. Kita tahu juga proses hukum begitu lama dan ribet, tapi harus dipahami hakim itu akan memenjarakan terdakwa, tentu mereka harus benar-benar yakin bahwa terdakwa memang pelakunya.
Itulah 7 poin penting yang meski diketahui terhadap penyintas kekerasan seksual dan keluarganya. Semoga dengan informasi ini bisa menambah wawasan kita bersama. Tak ada salahnya pula artikel yang mungkin bermanfaat ini dibagikan terhadap keluarga terdekat, sahabat, dan komunitas.
Hal itu sebagaimana amanah dalam Pasal 85 ayat 1 UU PKS “Masyarakat dapat berpartisipasi dalam pencegahan, pendampingan, pemulihan, dan pemantauan terhadap Tindak Pidana Kekerasan Seksual.”
Selanjutnya 85 ayat 2 UU PKS merinci lagi peran masyarakat (netizen) “Partisipasi masyarakat dalam pencegahan sebagaimana dimaksud ayat 1 diwujudkan dengan:
a. membudayakan literasi Tindak Pidana Kekerasan Seksual kepada semua lapisan usia masyarakat untuk mencegah terjadinya Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan tidak menjadi korban dan pelaku;
b. Mensosialisasikan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual;
c. Menciptakan kondisi lingkungan yang dapat mencegah terjadinya Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Penulis: Asmara Dewo, Konsultan Hukum
Sumber www.advokatmanado.com
Posting Komentar untuk "Mengalami Kekerasan Seksual, 7 Hal Ini yang Harus Diperhatikan"