Sejarah Gengster di Jogja dan Fenomena Klitih (Bagian 2)
Ilustrasi klitih | Klickberita.com/Asmara Dewo |
Klickberita.com-Fenomena Klitih ini menjadi marak sekitar lima tahun belakangan. Istilah klitih mulai populer pada tahun 2016. Pada mulanya, klitih merupakan perilaku kenakalan remaja dan permusuhan antar kelompok. Namun, seiring berjalannya waktu, fenomena klitih mengalami pergeseran.
Kini, klitih tidak hanya menyasar pada kelompok tertentu, tetapi juga menyasar pada masyarakat umum secara acak. Seiring dengan berkembangnya sosial media, peristiwa klitih ini pun semakin terkuak.
Mengacu pada data yang tercatat oleh Polda Daerah Istimewa Yogyakarta (dalam DataIndonesia.id, 2022), kasus klitih meningkat 11,54% pada tahun 2021 jika dibandingkan dengan tahun 2020.
Secara rinci, pada tahun 2020 kasus klitih mencapai angka 52 kasus dengan jumlah pelaku yang telah ditangkap sebanyak 91 orang. Kemudian, kasus pun meningkat menjadi 58 kasus dengan 102 pelaku telah ditangkap pada tahun 2021.
Kasus tersebut terdiri dari 40 kasus yang telah terselesaikan, sedangkan 18 kasus masih/tidak terselesaikan. Modus operandi yang dilakukan terdiri dari penganiayaan (32 kasus), penggunaan senjata tajam (25 kasus), dan perusakan (1 kasus). Selain itu, data Polda DIY pun mengungkapkan bahwa mayoritas pelaku masih berstatus sebagai pelajar, sedangkan sisanya berstatus pengangguran.
Saya pernah mendapatkan pengakuan dari salah seorang teman saya, dia orang luar Jawa yang berkuliah di Jogja. Dia mengaku pernah disuruh untuk menjadi pelaku klitih di jalanan. Teman saya ini pada akhirnya menyesal dan sekarang menjadi aktivis.
Menurut dia ada juga yang memang didesain untuk menciptakan issu klitih ini. Banyak juga asumsi yang beredar mengenai hal ini, dan asumsi ini adalah teori intelijen dimana untuk mengalihkan issue yang strategis maka masyarakat disuguhkan dengan isu yang bisa menyita publik sehingga isu strategis itu menghilang.
Terdapat banyak kepentingan tendensi penguasa dengan melakukan pengalihan isu di masyarakat. Hal ini dilakukan untuk meredam gejolak masyarakat yang kritis terhadap gejolak sosial yang dialaminya.
Namun cara yang dilakukan ternyata membawa dampak buruk, melanggar HAM, dan hukum itu sendiri. Dalam rekayasa isu dan kasus, ada korban yang ditumbalkan yaitu rakyat itu sendiri.
Kasus lain mengenai klitih kembali mencuat. Kasus terbaru yang cukup menggemparkan masyarakat Yogyakarta ini dialami oleh seorang siswa sekolah menengah yang merupakan anak dari anggota DPRD Kebumen, Madkhan Anis, pada 3 April 2022. Korban mengalami peristiwa naas tersebut ketika tengah mencari makan sahur.
Dikutip dari Kompas.com (5/4/2022), siswa yang menjadi korban pun pada akhirnya harus meregang nyawa saat sedang dibawa ke rumah sakit terdekat. Mulanya, korban yang sedang mencari sahur dengan temannya diprovokasi oleh pelaku yang kurang lebih berjumlah lima orang.
Kemudian, korban dan temannya mengejar pelaku. Hingga akhirnya saat berpapasan, pelaku melesakkan gir motor sebagai senjata yang mereka gunakan. Kasus ini pada akhirnya viral di media massa, terutama Twitter. Warganet beramai-ramai membawa istilah klitih untuk kasus tersebut.
Namun, dilansir dari CNN Indonesia (11/4/2022), Ditreskrimum Polda DIY, Kombes Pol Ade Ary Syam Indradi, menegaskan bahwa peristiwa tersebut bukan terkait dengan klitih, melainkan imbas dari tawuran yaitu tawuran antar geng Morenza vs Vooster.
Dari kronologi versi kepolisian saja menurut saya ada keganjilan, yaitu :
1. Kronologi versi polisi adalah ada 2 motor yang memblayer ke beberapa orang dari arah selatan (4-5 motor,7-8 orang) di depan Warmindo, kemudian kawanan di Warmindo itu mengejar ke utara sampai Jogkem. Kalau itu imbas dari tawuran antar geng, yang menjadi aneh adalah korban DAA dan kelompoknya apakah anggota geng Vooster?
Sedangkan Vooster adalah nama geng STM Jetis (SMK N1 dan SMK N 2 Yogyakarta). Padahal menurut informasi korban DAA,yang meninggal ini adalah pelajar MUHA (SMU Muhammadiyah Yogyakarta).
2. Pelaku adalah orang yang punya keahlian dan terlatih. Bagaimana tidak, mereka (2 motor) berani menantang orang yang lebih banyak 4-5 motor,7-8 orang. Kemudian sudah ditunggu oleh kawanan pelaku di utara. Ini seperti didesain sedemikian rupa untuk melakukan penganiayaan di jalanan.
3. Ada kerancuan istilah tawuran dengan klitih. Menurut polisi ini tawuran, tapi tidak mencerminkan tawuran antar geng. Kalau klitih, biasanya pelaku klitih melakukan aksinya menyabet/menganiaya korban pada saat di jalan dengan spontan dan cepat, terus pergi segera mungkin meninggalkan Tempat Kejadian Perkara (TKP).
Tapi dalam rekaman CCTV, pelaku turun ke jalan beserta kawanannya dan melemparkan benda yang seperti gir. Pelaku mengetahui pasti keadaan dan seperti menguasai keadaan di TKP.
Belum lagi mengenai fakta di persidangan, yaitu :
1. Dugaan salah tangkap, (bahwa Terdakwa 1, Terdakwa 2 dan Terdakwa 3 tidak mengendarai motor yang sama, bahwa sebenarnya setelah perang sarung Terdakwa 1 (Ryan) memboncengkan saksi Bayu Prasetyo menggunakan sepeda motor milik saksi Bayu Prasetyo dan saksi Adimas Rais Rahimmahullah memboncengkan Terdakwa 3 menggunakan sepeda motor milik saksi Adimas Rais Rahimmahullah. Saksi Bayu menerangkan hal serupa dalam persidangan.
2. Dalam proses penangkapan tanggal 10 April 2022 sekira pukul 02.00 WIB tidak ada surat tugas maupun surat perintah penangkapan, surat izin penggeledahan serta tidak melibatkan pihak keamanan desa atau pejabat RT atau RW. Ada indikasi tidak dipenuhinya syarat-syarat formil ketika penangkapan.
Terdapat sinyalemen pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh oknum polisi. Perbuatan ini sudah barang tentu bertentangan dengan nilai dan prinsip hak asasi manusia dan kaidah-kaidah negara hukum.
Padahal, pasal 34 UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia tegas mengatakan, setiap orang tidak boleh ditangkap, ditahan, dipaksa, dikecualikan, diasingkan atau dibuang secara sewenang-wenang.
Masih dalam UU yang sama, pasal 33 jelas pula menyebut yang pada pokoknya setiap orang berhak untuk bebas dari perlakuan yang tidak manusia, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya.
3. Para Terdakwa dalam menjalani proses penyidikan mengaku mendapat kekerasan fisik dan psikis dari pihak kepolisian, kekerasan tersebut dimaksudkan untuk mendapat pengakuan dari para Terdakwa. tidak hanya para Terdakwa, saksi Redy dan saksi Agus juga mengaku mendapat kekerasan dari pihak kepolisian.
Dengan UU No. 12 tahun 2005, Indonesia sudah meratifikasi Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik yang mana pasal 9 ayat 1 telah mengetengahkan ketentuan yang substansinya sama dengan pasal 34 UU No. 39 tahun 1999 yaitu setiap orang berhak atas kebebasan dan keamanan pribadi. Tidak seorang pun dapat ditangkap atau ditahan secara sewenang-wenang.
Ditambah lagi, dalam Pasal 13 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia ditegaskan bahwa dalam melaksanakan kegiatan penyelidikan, setiap petugas Polri dilarang: a. melakukan intimidasi, ancaman, siksaan fisik, psikis ataupun seksual untuk mendapat informasi, keterangan atau pengakuan. Dengan demikian, tidak ada satupun alasan yang membolehkan polisi atau aparatur negara melakukan penangkapan dan penahanan secara serampangan apalagi disertai dengan kekerasan.
4. Polisi terindikasi melakukan Obstruction of Justice, tindakan yang mengancam dengan atau melalui kekerasan, atau dengan surat komunikasi yang mengancam, memengaruhi, menghalangi, atau berusaha untuk menghalangi administrasi peradilan, atau proses hukum yang semestinya.
Diketahui dalam sidang pemeriksaan 6 Oktober 2022 lalu, Kepala Pusat Studi Forensik Digital UII Yudi Prayudi yang dihadirkan sebagai saksi ahli digital forensik kasus ini mengakui kesulitan mengidentifikasi sosok dalam CCTV kasus ini.
Tercatat ada total 9 file video rekaman CCTV yang memang bukan primary source atau sumber utama. Sehingga kualitas gambar yang dihadirkan pun tidak cukup baik atau sudah tereduksi. Rekaman CCTV itu kan umumnya ekstensinya berupa HD atau Mov, nah ini diubah menjadi 3gp.
Akibatnya alat bukti ini rusak sehingga tidak dapat dilihat siapa sebenarnya yang terekam dalam CCTV.
5. Pakaian atau hoodie yang dijadikan barang bukti bukanlah pakaian yang dikenakan Terdakwa Ryan pada malam itu dan hoodie yang dijadikan barang bukti berbeda dengan pakaian yang ada di CCTV yang dihadirkan oleh JPU.
Perbedaan terletak pada gambar di belakang hoodie, pada CCTV Nampak hoodie warna cerah dan polos sedangkan hoodie yang dijadikan barang bukti memiliki gambar yang cukup besar di bagian belakang.
6. Menurut kesaksian Agus Dwi Antana alias Menyot Bin Waryono menerangkan bahwa Gir yang dijadikan barang bukti ialah Gir yang sebelumnya disimpan oleh saksi setelah mengganti Gir tetangganya di bengkel milik saksi.
Saat Gir tersebut ditemukan dalam keadaan yang kotor oli dan rumah serangga (tidak ada bekas darah), polisi mengambil tanpa sarung tangan atau alat tertentu.
Tali yang dimaksudkan untuk mengikat Gir adalah milik saksi Agus (adik dari sksi Agus Dwi Antana) yang di dapat oleh pihak kepolisian dari kamarnya dan itu adalah sabuk dari perguruan silat yang diikuti oleh saksi Agus.
Dari rumah Saksi Agus Syahputra Penyidik (pihak kepolisian) menyita 1 (satu) buah Gir, 1 (satu) buah sabuk berwarna kuning, 2 (dua) buah celurit. Namun yang dijadikan barang bukti hanya Gir dan tali warna kuning. Keberadaan 2 buah celurit tidak dijelaskan.
7. Saksi-saksi yang dihadirkan JPU tidak melihat jelas siapa pelaku, hanya ada satu saksi yang yakin bahwa para terdakwa adalah pelaku yaitu pelaku memakai masker dan memiliki sorot mata sipit Padahal orang yang memiliki mata sipit banyak sekali.
8. Lampu belakang barang bukti Vario 150 hitam setelah diperiksa bersama (Majelis Hakim, Penuntut Umum, dan Penasihat Hukum) di Rupbasan Yogyakarta ternyata tidak menyala (soket keluar dari body karena rusak/tidak terpasang bohlam), namun di video terlihat menyala.
Lampu depan strobo biru dan lis merah barangbukti N Max hitam setelah diperiksa bersama ternyata menyala, namun di video terlihat tidak menyala dan warna body bukan cenderung biru seperti pada video.
Sehingga kesimpulannya kuat bahwa terdakwa ini adalah korban salah tangkap.
Faktor yang menyebabkan maraknya aksi Klitih/kejahatan jalanan yang dilakukan remaja menurut saya adalah:
1. Kurangnya ruang publik atau RTH (Ruang Terbuka Hijau)
Yogyakarta adalah kota pelajar dan budaya, namun sangat sedikit sekali ruang publik atau RTH (Ruang Terbuka Hijau) alias taman kota.
Tidak ada taman kota seperti di kota Surabaya atau Jakarta yang memang menyediakan taman kota untuk masyarakat. Adapun ruang publik hanya di Alun-Alun, itu pun Alun-Alun Utara sudah dibentengi oleh pagar besi. Sedangkan di Alkid dijadikan obyek wisata dan perdagangan ekonomi.
Berbeda dengan Alkid jaman dulu yang memang dijadikan tempat nongkrong anak muda dengan segala ekspresi penampilan motor dan pakaian yang dipakai. Minimnya ruang publik ini membatasi ruang berekspresi anak muda dengan bebas dan gratis.
Ini menjadi PR pemerintah di mana publik membutuhkan ruang publik yang bisa diakses gratis, aman, dan strategis. Sehingga kebebasan berekspresi anak muda tersalurkan dengan mengadakan berbagai acara di ruang publik tersebut.
Namun balik lagi kepada political will dan political action pemerintah atas permasalahan ini.
2. Sentimen sosial atas kesenjangan ekonomi
Konflik geng QZRUH dan JOXZIN dengan analisis kelasnya telah membawa sentimen sosial yang meluas, yaitu gagalnya negara dalam hal ini pemerintah untuk mensejahterakan rakyatnya.
Mari kita lihat bagaimana daerah di sebelah utara Jogja, Sleman dan sekitarnya yang dianggap lebih mencerminkan kehidupan mewah.
Di mana terdapat industri jasa yang cukup besar, terdapat banyak pusat perbelanjaan, pusat hiburan, properti mewah, dan pusat kuliner.
Berbeda dengan kondisi di Jogja selatan dan sekitarnya yang mayoritas adalah kelas menengah ke bawah. Namun itu pun telah tergeser di banyak kabupaten sehingga relatif merata di banyak tempat, yang pada intinya kesenjangan antara si kaya dan si miskin terlalu jauh.
Angka kesenjangan sosial di DIY adalah tertinggi (Data BPS). Upah Minimum Propinsi (UMP) DIY adalah yang terendah se-Indonesia. Dan kesenjangan ekonomi dan sosial sangat tinggi di DIY.
Ada juga anggapan orang pribumi yang menganggap pendatang sebagai orang kaya baik itu yang merantau untuk belajar (pelajar atau mahasiswa) ataupun bekerja.
Sehingga menciptakan sentimen dan kebencian yang kemudian disalurkan dengan ekspresi di jalanan.
3. Konflik antara ideal-self dan diri remaja dalam realitasnya
Masa remaja adalah masa perkembangan di mana rentan terjadi. Remaja adalah masa yang penuh dengan tanda-tanya, keraguan, dan pertimbangan.
Selain itu, pada saat remaja, hormon pubertas menyebabkan kondisi emosional menjadi lebih tidak stabil sehingga sering kali mudah merasa marah dan tidak dalam kondisi mood yang baik.
Kondisi tersebut lantas menjadi pemicu mengapa remaja rentan mengalami frustrasi (Santrock, 2018). Dalam frustration-aggression hypothesis, frustrasi dikatakan sebagai penyebab terkuat atau bahkan satu-satunya penyebab agresi (Dollard & Miller dalam Breuer, 2017).
Frustrasi pada remaja dapat terjadi karena konflik tentang ideal-self yang mereka miliki berujung pada kebingungan akan identitas mereka sehingga mereka melukai orang lain karena hal tersebut (menurut mereka) merupakan salah satu cara untuk menunjukkan bahwa mereka memiliki identitas. Teori Identity vs Confusion menjelaskan bahwa segala bentuk aktivitas yang mereka lakukan akan sangat berpengaruh terhadap proses pencarian identitas anak dan remaja, termasuk para pelaku klitih ini, sebagiaman dikutip dari LM Psikologi UGM 2022.
4. Minimnya organisasi pemuda yang progresif di kalangan remaja/pemuda
Remaja /pemuda sebenarnya bisa diarahkan kepada penyadaran kritis atas gejala sosial yang terjadi di lingkungan sekitarnya. Masalah sosial apa yang terjadi hingga remaja itu punya daya nalar berpikir dan tahu apa yang dilakukan.
Aksi demonstrasi menolak kebijakan negara seperti tahun 2019 -2021 dalam #reformasidikorupsi atau di Jogja dikenal dengan #gejayanmemanggil (Aliansi Rakyat Bergerak) di mana terdapat meningkatnya eskalasi peran anak muda/remaja dalam mengikuti aksi adalah bukti bahwa remaja bisa diajak berpikir kritis dan melawan.
Kekuatan anak SMA dan STM adalah keberanian luar biasa yang mengalahkan keberanian mahasiswa dalam menghadapi aparat dan kekuasaan.
Sehingga konflik yang tercipta bukan konflik horisontal sesama pemuda melainkan konflik vertikal pemuda dengan penguasa. Namun, sumber daya ini harus dijaga secara berkelanjutan dengan membangun organisasi pemuda yang bersifat progresif dan revolusioner.
Kalau tidak maka akan terjatuh dalam jurang kenakalan remaja lagi, pragmatisme remaja, dan gaya hedon anak muda. Pemuda dengan segala perannya adalah garda terdepan perjuangan pergerakan, dan itu sudah terbukti di sepanjang sejarah pergerakan rakyat.
Anak muda adalah tumpuan bangsa dan negara, terutama anak muda yang kritis terhadap permasalahanya.
Kritis terhadap permasalahan adalah mendayagunakan sumber daya yang ada untuk memahami permasalahan sosial yang terjadi di lingkungannya, mencari kebenaran materiil (obyektif) atas suatu peristiwa, mengkritik dan mencari solusi atas permasalahannya.
Maka peran anak muda/pemuda sangat penting untuk regenerasi perubahan peradaban yang lebih baik dan benar.
Tak ada perdamaian tanpa keadilan. Tak ada keadilan tanpa kebenaran. Dan sejatinya kebenaran itu tidak menindas siapa pun.
Baca artikel sebelumnya:
Sejarah Gengster di Jogja dan Fenomena Klitih (Bagian I)
Profil Restu Baskara | Klickberita.com/Asmara Dewo |
Posting Komentar untuk "Sejarah Gengster di Jogja dan Fenomena Klitih (Bagian 2)"